Perubahan Sosial Pemanfaatan Ruang Bali

Perubahan sosial terhadap pemanfaatan ruang di wilayah Provinsi Bali yaitu antara lain :

  1. Pertama, perubahan sosial karena keadaan demografi, maka jumlah penduduk semakin bertambah baik terhadap pengayah Ngarep, Penyade maupun pengayah pengele/Tamiu baik yang beragama Hindu dan beragama lainnya di Bali. Penambahan jumlah penduduk kawasan perkotaan akan membawa konsekwensi terhadap perubahan kebutuhan ruang untuk membangun dan tidak sering masalah ini menyebabkan semakin berkembangnya rumah-rumah kumuh di kawasan perkotaan.
  2. Kedua, perubahan sosial karena teknologi. Perkembangan teknologi semakin canggih, utamanya teknologi komunikasi akan membawa pengaruh social semakin kuat, karena dunia telah dibatasi oleh ruang dan waktu. Ruang semakin sempit dan waktu semakin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi, sehingga terjadi banjir informasi yang berpengaruh kepada cara pandang maupun gaya hidup masyarakat dan ini awal suatu proses yang akhirnya bisa bermuara pada perubahan sikap-mental dan cultural. Akhirnya masyarakat memandang bahwa teknologilah yang dapat mensiasati hidup dan kehidupan serta bangunan-bangunan yang tidak lagi mempertimbangkan nilai budaya yang ada dan ruang-ruang terbuka untuk sirkulasi udara.
  3. Ketiga, karena masalah ekonomi. Pada era globalisasi dan pasar bebas, segala sesuatu diukur dengan ekonomi komersial oleh masyarakat, sehingga terjadinya pelanggaran-pelanggaran nilai budaya yang dimilikinya, seperti ruang hunian penduduk masyarakat Bali yang dahulu berkembang secara horizontal tetapi sekarang telah berkembang secara vertical dengan konsep Tri Angga, serta tidak memperhatikan nilai-nilai kesucian dan kesakralan suatu tempat, dengan contoh setra berubah menjadi pasar, tempat suci dipersempit dipakai ruko, dan tempat-tempat suci serta kawasan suci didesak oleh bangunan-bangunan bertingkat yang tidak mengindahkan Bhisama PHDIP tentang kesucian pura.
  4. Keempat, perubahan karena budaya, sebuah kebudayaan akan berubah karena orientasi nilai, yang berlanjut pada perubahan norma prilaku yang bisa berwujud ; pergeseran (asimilasi nilai dan norma), persengketaan (ambivalensi) sikap menerima atau menolak dan perbenturan (penentangan yang ekstrim). Pluralisme kebudayaan dan peradaban akan tetap menjadi cirri khas kemanusiaan dan setiap pengingkaran cirri khas tersebut akan membangkitkan penentangan, apapun caranya dan bagaimanapun pengejawantahannya. Seperti perubahan cara pandang karang kekeran seperti perbatasan desa, perbatasan kabupaten, sungai, jurang, ngarai (campuhan), dan lain sebagainya yang dipandang sebagai suatu tempat yang patut dinikmati dari segi social ekonomi sehingga pemanfaatan tempat-tempat tersebut secara berlebih-lebihan atau tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Seperti contoh perbatasan Tabanan dengan Badung disengaja atau tidak terpampang papan bertuliskan “dicari investor untuk membangun ruko, serius Hub. HP…..”  padahal tempat itu sebuah jurang yang menganga sangat dalam.
  5. Kelima, perubahan karena hukum. Hukum yang selalu berubah-ubah di negara ini, sehingga masyarakat belum paham betul dengan hokum yang pernah berlaku lalu dicabut dan diganti dengan hokum yang berlaku maka masyarakat menjadi passive terhadap pelanggaran hokum. Dengan demikian sering terjadinya pelanggaran-pelanggaran di lapangan karena hokum kalah cepat dengan keinginan pengguna hokum tersebut.
  6. Keenam, perubahan karena perencanaan. Suatu perencanaan adalah sangat berpengaruh sekali terhadap baik- buruk, kualitas dan kuantitas perubahan tersebut. Seperti perencanaan kota, wilayah, jalan, permukiman penduduk yang akan membawa perubahan pisik suatu wilawah desa maupun perkotaan. Seperti jalur terbuka hijau dibuka menjadi jalan alteri sehingga mengundang minat masyarakat untuk membangun di kawasan tersebut.