Bhisama Kesucian Pura

Keputusan Pesamuhan Agung Parisada Nomor: 7/KEP/P.A. Parisada/XII/2010 Tentang Rekomendasi Pedoman Sosialisasi Bhisama Kesucian Pura

Latar Belakang Masalah

“Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya Untuk Indonesia Raya”. Kalimat yang diberi tanda kutip ini adalah bagian dari syair Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Ini artinya pembangunan di Indonesia ini wajib hukumnya membangun jiwa dan raga manusia-manusia Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketidakseimbangan pembangunan fisik material dengan pembangunan mental spiritual dapat menimbulkan berbagai persoalan yang tidak begitu mudah mengatasinya. Dalam perjalanan kehidupan jaman Kali ini, kedudukan uang yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan bergeser menjadi tujuan yang paling utama. Kata “artha” dalam bahasa Sanskerta artinya tujuan. Segala sesuatu yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan disebut “artha”. Karena itulah uang juga disebut “artha”. Hal ini perlu dikemukakan untuk mengingatkan bahwa uang itu amat penting tetapi hendaknya fungsinya jangan digeser menjadi tujuan utama. Tujuan spiritualpun tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa uang. Melakukan kegiatan keagamaan membutuhkan sarana. Untuk mengadakan sarana itu dibutuhkan uang. Agar uang itu tetap memberikan kontribusi positif pada kehidupan jagalah uang itu agar tetap berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup mencapai kebahagiaan.

Hubungan manusia dengan uang bagaikan hubungan perahu dengan air. Tanpa air perahu tidak bisa berlayar. Tujuan perahu berlayar di air bukan mencari air, tetapi menunju pantai bahagia. Tetapi kalau salah caranya perahu berlayar di air, maka air itulah yang menenggelamkan perahu tersebut.

Dalam Kekawin Nitisastra IV.7 ada dinyatakan sebagai berikut:

Singgih yan yuganta kali datang tan hana lewiha sakeng mahadhana.
Tan waktan guna sura pandita widagdha pada mangayap ring dhaneswara.

Artinya: Kalau jaman Kali sudah datang tidak ada yang lebih berharga dari uang. Sudah tidak bisa dikatakan para ilmuwan (guna), seorang pemberani (sura), orang suci dan mereka yang bijaksana (widagdha) semua menjadi pelayan orang kaya (dhaneswara).

Mereka yang kurang waspada akan terjebak menjadi budaknya uang. Hal itu menyebakan orientasi hidupnya juga bergeser. Hakekat hidup mencari ketenangan menjadi bergeser untuk mencari kesenangan, sehingga yang paling utama dijadikan tujuan hidup adalah untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Dari sinilah muncul berbagai upaya untuk menggunakan apa saja untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya agar bisa hidup bersenang-senang. Salah satu diantaranya adalah menggeser kawasan suci untuk dijadikan sarana mendapatkan uang karena kawasan suci itu menjadi daya tarik wisatawan.

Hal ini menimbulkan sikap yang terlampau fragmatis untuk menyiapkan berbagai fasilitas pelayanan wisatawan dengan memanfaatkan daya tarik kawasan suci itu. Terjadilah pembangunan fasilitas wisata sampai merangsek kawasan suci. Untuk tidak terjadi sesuatu yang lebih buruk munculah berbagai usul dari berbagai pihak agar Parisada sebagai lembaga tertinggi umat Hindu membuat kebijakan untuk mengamankan kawasan suci, terutama keberadaan Pura sebagai tempat pemujaan umat Hindu, warisan leluhur yang sudah berabad-abad dibangun di Bali.

Fungsi utama Pura yang berada di kawasan suci adalah sebagai tempat melakukan kegiatan beragama Hindu. Dilain pihak Pura tersebut menimbulkan daya tarik wisatawan. Kedua hal itu wajib disinergikan dengan bijaksana agar kedua hal tersebut dapat memberikan kontribusi positif pada kehidupan masyarakat Bali. Warisan leluhur dan aspirasi masyarakat Bali inilah sebagai salah satu aspek yang menyebabkan Parisada Pusat mengeluarkan Bhisama tentang Kesucian Pura.

Bhisama Kesucian Pura Sebagai Norma Agama

Bhisama Kesucian Pura yang dikeluarkan oleh Parisada Pusat tangal 25 Januari 1994 adalah suatu produk untuk melanjutkan sistem keberagaman Hindu di Bali khususnya tentang pendirian Pura Kahyangan Jagat. Jarak keberadaan Pura yang tergolong Kahyangan Jagat itu dengan Desa Pakraman terdekat umumnya berjarak Apeneleng Agung (sekitar lima kilometer). Kahyangan Jagat tersebut khususnya Kahyangan Jagat yang tergolong Kahyangan Rwa Bhineda, Kahyangan Catur Loka Pala (Pura Lempuhyang, Pura Andakasa, Pura Luhur Batukaru, dan Pura Puncak Mangu). Pura Sad Kahyangan menurut Lontar Kusuma Dewa dan Pura Padma Bhuwana yang berada di sembilan penjuru pulau Bali. Sedangkan Pura Kahyangan Jagat yang tergolong Pura Dang Kahyangan berjarak Apeneleng Alit kurang lebih dua kilometer. Sedangkan untuk Pura Kahyangan Tiga dan lain-lainya dengan jarak Apenimpug dan Apenyengker. Istilah-istilah Apeneleng Agung, Apeneleng Alit, Apenimbug, dan Apenyengker semuanya itu adalah istilah yang terdapat dalam tradisi budaya Bali warisan leluhur umat Hindu yang sudah ada sejak berabad-abad.

Tujuan utama Bhisama Kesucian Pura tersebut untuk menata keseimbangan prilaku manusia dalam memanfaatkan alam agar tidak semata-mata dijadikan sarana untuk kerpentingan hidup Sekala yang bersifat sementara. Pemaanfaatan ruang di alam ini agar digunakan seimbang untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat sekala dan niskala dengan landasan filosofi Tri Hita Karana.

Sarasamuscaya 135 menyatakan untuk menyukseskan tercapainya empat tujuan hidup manusia (dharma, artha, kama, dan moksa), yang pertama-tama wajib diupayakan adalah melakukan Bhuta Hita. Bhuta Hita artinya menyejahterakan alam lingkungan. Ada ruang untuk mengembangkan “sarwa prani” seperti tumbuh-tumbuhan yang akar, batang, daun, dan bunganya memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan umat manusia dan makhluk lainnya. Tanah, air, dan udara dalam kitab suci Veda tergolong Tri Chanda yang wajib dijaga oleh umat manusia yang ingin hidup sejahtera. Tanah, air, dan udara yang existensinya alami dapat menyuburkan tumbuh-tumbuhan. Daun tumbuh-tumbuhan itu mengandung chlorofil yang manfaatnya untuk kehidupan semua makhluk hidup tiada terkira. Sudah terlalu banyak keberadaan tanah, air, dan udara kita rusak dengan alasan mendapatkan kesejahteraan yang bersifat sementara. Bahkan pemanfaat ruang secara semena-mena itu lebih banyak menguntungkan pemodal dan oknum pejabat dengan para calo tanahnya.

Bhisama Kesucian Pura ini untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan keberadaan Pura tersebut tidak berlangsung terus. Namun Bhisama ini adalah produk Pandita melalui Pasamuhan Sulinggih Parisada Pusat yang dibantu oleh Sabha Walaka dan Pengurus Harian Parisada Pusat. Bhisama ini adalah tergolong norma Agama. Sanksi norma Agama bagi pelanggar-pelanggarnya tergantung dari keyakinan umat pada ajaran Agamanya. Bhisama itu adalah penafsiran suatu ajaran Agama yang belum jelas dan tegas dinyatakan da lam kitab suci Veda. Namun secara filosofis sudah tercantum dalam kitab suci. Dalam Manawa Dharmasastra XII. 108 dinyatakan bahwa:

Kalau ada hal-hal yang belum secara jelas dinyatakan dalam ajaran Veda (dharma), maka yang berwewenang menentukan jawabannya adalah Brahmana Sista (Pandita Ahli). Ketentuan itu memiliki kekuatan legal.

Selanjutanya dalam Manawa Dharmasastra XII.110 dinyatakan bahwa apapun yang telah ditetapkan oleh Brahmana Sista yang memegang jabatan di Parisada, memiliki kekuatan hukum yang sah, siapapun sebaiknya tidak ada yang membantahnya.
Substansi Bhisama adalah menjaga kawasan suci di areal Pura agar jangan terjadi polusi, merosotnya kawasan hijau yang akan menurunkan sumber-sumber air dan vibrasi negatif lainya. Kalau disekitar Pura sudah terjadi polusi dan vibrasi negatif karena terjadi berbagai kegiatan hidup yang tidak sesuai dengan norma agama, apalagi ditambah dengan lingkungan yang sudah terpolusi dapat menyebabkan Pura tidak lagi memancarkan kesucian dan kelestarian alam lingkungan. Keberadaan Pura dengan lingkungannya hendaknya ditata sedemikian rupa sehingga dapat dihadirkan sebagai fasilitas spiritual yang memadai. Dengan demikian Pura dengan fasilitas spitritualnya dapat memberikan kontribusi spiritual kepada mereka yang sedang menjadikan Pura sebagai media untuk mengembalikan daya spiritualnya.

Karena itu Bhisama Kesucian Pura membenarkan adanya berbagai fasilitas yang menunjang keberadaan Pura sebagai media spiritual; seperti Dharmasala, Pasraman dan bangunan-bangunan lainya yang berfungsi untuk lebih mengeksistensikan keberadaan Pura sebagai mediauntuk menguatkan aspek spiritual umat. Dharmasala adalah bangunan sebagai tempat menginap umat yang dari jauh yang ingin mengikuti berbagai kegiatan keagamaan di Pura bersangkutan. Dharmasala bukanlah hotel sebagai tempat penginapan umum.Yang boleh menginap di Dharmasala adalah mereka yang khusus akan mengikuti berbagai kegiatan keagamaan di Pura yang bersangkutan. Sedangkan Pasraman adalah suatu fasilitas yang menyediakan fasilitas pendidikan kerohanian untuk menyiapkan umat yang akan mengikuti berbagai kegiatan di Pura bersangkutan. Di samping Dharmasala dan Pasraman dapat saja dibangun fasilitas lainya di areal kesucian Pura sepanjang hal itu menunjang eksistensi Pura dengan kawasannya sebagai media spiritual. Hal ini sangat tergantung dari inisiatif pengemong Pura sejauhmana mereka mau berkreasi untuk mengeksistensikan Pura sebagai media spiritual Hindu untuk mewujudkan hidup kehidupan yang “saucam” (suci bersih lahir bathin). Dalam Sarasamuscaya dinyatakan sebagai berikut: “Sauca ngaraniya maradina majapa” : Artinya, sauca namanya suci dengan mandi setiap hari dan melakukan japa. Selanjutnya dalam Sloka yang lainya, Sarasamuscaya menyatakan “mapaluwi-luwining kojaran sanghyang mantra japa ngarania”. Artinya mengulang-ulang pengucapan mantra, japa namanya.

Yang menarik dalam hal ini kehidupan sauca atau suci itu dilakukan dengan air dan berjapa. Air menurut Canakya Niti adalah salah satu dari tiga ratna permata bumi atau Triji Ratna Permata Bumi. Tiga Ratna Permata Bumi ini adalah air, tumbuh-tumbuhan, dan kata-kata bijak (jala, krsi, subha sita). Air dan tumbuh-tumbuhan eksistensinya akan tidak terganggu kalau adanya tata guna lahan itu dengan sebaik-baiknya. Di Bali filosofi Tri Hita Karanalah yang dijadikan landasan umum untuk menata pemanfaatan ruang. Dari filosofi inilah muncul adanya ruang untuk membangun Parahyangan, ruang khusus kegiatan umum seperti pemukiman, pemerintahan, ruang bisnis dll. Inilah yang disebut Pawongan. Selanjutnya ada ruang kosong untuk bertumbuhnya tumbuh-tumbuhan. Karena itu dalam kitab Pancawati dinyatakan adanya tiga jenis hutan yaitu: Maha Wana, Tapa Wana, dan Sri Wana. Maha Wana itu adalah hutan lindung, Tapa Wana areal hutan untuk membangun tempat-tempat melakukan Tapa seperti Pura Kahyangan Jagat. Sedangkan Sri Wana adalah hutan produksi.

Bhisama Untuk Menata Lingkungan Sekala dan Niskala