Tata Ruang Laut vs Tata Ruang Darat

Dimensi perairan laut mulai dari permukaan, kolom, hingga dasar laut.

Sifat laut sebagai ruang –yang pada setiap segmennya, baik secara vertikal maupun horizontal– memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan untuk suatu peruntukan tertentu merupakan perbedaan mendasar antara penataan ruang darat dan laut. Secara horizontal, wilayah permukaan laut dimanfaatkan sebagai jalur pelayaran baik penumpang maupun barang.

Demikian pula pada perairan laut sekitar pantai dapat dimanfaatkan sebagai lahan budidaya rumput laut. Pada area kolom air merupakan wilayah penangkapan ikan atau tempat olah raga selam. Di dasar laut sering digunakan sebagai pemasangan jalur kabel komunikasi dan jalur pipa. Di dasar perairan laut tertentu mengandung mineral dan ditemukan kapal tenggelam yang bermuatan benda berharga. Sedangkan tanah di dasar laut dapat merupakan daerah cadangan minyak dan gas.

Penataan wilayah laut pada dasarnya diperlukan terkait dengan pengaturan pemanfaatan laut secara optimal dengan mengakomodasi semua kepentingan untuk menghindari adanya konflik pemanfaatan ruang laut. Pengertian ini mengarah pada suatu pemahaman bahwa pemanfaatan suatu sumber daya laut diberikan batas yang jelas antara zona pemanfaatan yang satu dan zona lainnya.

Kondisi ini jelas tidak mudah mengingat Indonesia memiliki perairan luas dan karakter perairan yang kompleks. Karena itulah penataan wilayah laut memerlukan suatu konsepsi melalui pendekatan secara makro dan mikro.

Pendekatan secara makro dimaksudkan sebagai langkah pengenalan karakter dan perkiraan prioritas pemanfaatan yang dapat ditetapkan pada suatu kawasan perairan, melalui pengelompokan kawasan perairan. Sedangkan pendekatan secara mikro lebih ditekankan pada peninjauan terhadap ketersediaan sumber daya, sifat dinamika laut, kerentanan bencana, kerentanan konflik pemanfaatan ruang, dan daya dukung laut.

Penetapan alokasi ruang di dalam tata ruang laut/rencana zonasi dilakukan berdasarkan tiga fungsi pemanfaatan, yakni ekonomi, konservasi, serta pertahanan dan keamanan. Fungsi ekonomi dimaksudkan sebagai kebijakan secara makro bahwa suatu kawasan perairan ditetapkan sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan karakter yang dimiliki setiap kelompok perairan laut maka dapat diperkirakan seperti arahan komoditi unggulan, kebutuhan infrastruktur, kelembagaan, format jaringan pemasaran produk, atau perkiraan tingkat kerawanan bencana.

Sementara itu, fungsi konservasi dimaksudkan sebagai langkah mempertahankan kelangsungan suatu kondisi alam, sosial, budaya, atau kearifan lokal di kawasan perairan laut atau pulau. Penetapan fungsi ini nantinya dapat dijadikan kawasan konservasi atau lindung.

Fungsi pertahanan dan keamanan dimaksudkan untuk mengupayakan penempatan fungsi pulau-pulau kecil di suatu kawasan perairan laut sebagai titik pangkal teritorial dan basis pangkalan pertahanan negara guna menjaga kedaulatan wilayah.

Di samping itu, di kawasan perairan yang memiliki indikasi rawan kejahatan (penyelundupan, penangkapan ikan ilegal, dan lain-lain), penetapan fungsi pertahanan dan keamanan menjadi prioritas.
Setidaknya ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam tata ruang laut/rencana zonasi. Pertama, sifat dinamis laut. Alam tersusun oleh sistem-sistem keseimbangan yang bersifat dinamis. Artinya, adanya perubahan salah satu atau lebih faktor dalam suatu sistem, maka alam akan mencari keseimbangan baru. Sebut saja berubahnya tingkat kecerahan akibat arus turbulensi yang mengangkut material endapan. Kondisi ini dapat membuat terumbu karang sakit atau bahkan mati. Perubahan keseimbangan ini akan berdampak pada kehidupan beragam jenis ikan yang selama ini bersimbiosis dengan terumbu karang.

Kedua, penafsiran nilai ekonomi dan nilai beban lingkungan. Apabila biaya perbaikan lingkungan lebih besar daripada nilai ekonomi yang didapatkan, maka tujuan pemanfaatan sumber daya tidak tercapai.

Ketiga, aspek sosial budaya masyarakat pesisir dan pulau. Adat istiadat suku yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau sangatlah beragam. Di beberapa tempat sering dijumpai adanya budaya pengaturan lahan laut atau sering disebut hak ulayat laut.

Keempat, aspek kepastian hukum pemanfaatan perairan laut. Menurut UU No. 26 Tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara. Dalam kaitan ini, ruang diterjemahkan sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan dan memelihara kelangsungan hidup mereka. Berdasarkan pemahaman ini, dapat dikembangkan konsep bahwa laut merupakan suatu kesatuan wilayah negara yang perlu ditata dan diatur tanpa mengurangi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pusat kegiatan yang berkembang pada ruang laut diwujudkan dalam berbagai aktivitas. Di antaranya permukiman, perikanan tangkap dan budidaya, pelabuhan perikanan, pelabuhan umum, wisata bahari, pertambangan, dan jasa kelautan.

Dalam lingkup perencanaan wilayah, pusat kegiatan ini berfungsi sebagai pusat permukiman pada kedudukan hierarki tertinggi, menengah atau terendah, berdasarkan kajian dalam suatu unit wilayah perencanaan (nasional, provinsi). Untuk lingkup ruang laut, hierarki pusat permukiman diposisikan sesuai dengan kajian unit analisis pada cakupan ruang laut yang direncanakan. Proses menyusun rencana tata ruang laut/rencana zonasi lebih kompleks dibandingkan tata ruang di darat. Sebut saja dalam hal merencanakan pola ruang. Di wilayah darat menggunakan identifikasi tata guna lahan (land use) sedangkan di laut menggunakan identifikasi fungsi kegiatan.

Begitu juga dalam analisis sosial misalnya, perencanaan wilayah darat terfokus pada analisis penduduk. Sedangkan di wilayah laut, perlu analisis mediasi konflik. Perbedaan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel berikut ini.

Proses Perencanaan Wilayah Darat dan Laut

Rencana pola ruang darat dengan laut harus dibedakan berdasarkan dimensinya. Pada ruang darat kita mengenal satu dimensi ruang, sedangkan pada ruang laut kita mengenal tiga dimensi ruang.
Hal ini sangat mempengaruhi proses penyusunan rencana pola ruang yang dilakukan. Oleh karena itu, rencana pola ruang disusun untuk ketiga dimensi ruang, yaitu permukaan, kolom, dan dasar laut. Kompleksitas ini makin tinggi karena media air akan membawa semua dampak kegiatan di permukaan, kolom air, dan dasar ke semua tempat bahkan yang lokasinya jauh dari lokasi kegiatan pemanfaatan. Hal mana tidak terjadi di ruang darat.

Peta rencana pola ruang laut mengakomodasi tiga layer penetapan pola ruang dari setiap dimensi (permukaan, kolom dan dasar laut). Pada setiap dimensi, pola ruang laut dapat mengakomodasi kegiatan yang multi fungsi sehingga alokasi ruangnya pun bisa overlapping pada satu zona tertentu. Pola ruang laut yang mengakomodasi lebih dari satu kegiatan pada suatu zona yang sama pada waktu tertentu yang sama pula harus dilengkapi dengan peraturan zonasi/peraturan pemanfaatan ruang yang akan mengatur mekanisme sistem pelaksanaan kegiatannya termasuk manajemen waktu pemanfaatan dari masing-masing pola untuk setiap kegiatan, selain peraturan zonasi yang mengatur ketentuan-ketentuan pada setiap pola ruang yang ditetapkan.

Rencana pola ruang pada layer permukaan laut mendeliniasi batasan area yang diberikan izin yang diperoleh suatu perusahaan untuk mengeksplorasi sumber daya kelautan dan batasan area rekreasi, pelayaran, serta jaringan alur (rute) kapal wisata, dan area aktif eksplorasi.

Rencana pola ruang pada layer kolom laut mendeliniasi batasan area penangkapan ikan, berdasarkan ikan yang terdapat pada area kolom laut tersebut. Sementara itu, rencana pola ruang pada layer dasar laut mendeliniasi lokasi pertambangan, konservasi dan lokasi cagar laut dan cagar budaya laut.

Prinsip utama dalam tata ruang laut adalah perencanaan dan pengelolaan aktifitas manusia di wilayah laut, bukan penataan ekosistem laut atau komponen ekosistem laut. Untuk itu, agar alokasi penggunaan ruang laut menurut tujuan dan kegunaan selaras dengan daya dukung, maka ada lima hal yang harus diperhatikan: Pertama, berbasis pada ekosistem, yang berarti keseimbangan antara ekologi, ekonomi dan sosial untuk keberlanjutan sumber daya dan penggunaan ruang laut; kedua, terintegrasi (antar pemangku kepentingan mulai dari tingkat nasional sampai lokal); ketiga, berbasis kewilayahan, untuk pemerataan pemanfaatan sumber daya dan daya dukung lingkungan; keempat, adaptif, kemampuan untuk belajar dari proses yang sudah dan sedang berjalan; kelima, strategis dan antisipatif, artinya bisa diimplementasikan dalam jangka panjang; dan keenam, partisipatoris yang mengakomodasi segenap pemangku kepentingan (UNESCO, 2009). Oleh sebab itu tata ruang laut bukanlah proses statis dengan one-hit development process tetapi merupakan proses dinamis yang selalu disesuaikan dengan kondisi dan daya dukung ekosistem.

Konversi Alokasi Ruang Pasca UUCK

Diposaptono, Subandono. 2016. Membangun Poros Maritim Dunia – Dalam Persepektif Tata Ruang Laut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.