1. Pendahuluan
Pembangunan sarana dan prasarana dasar di Bali, khususnya bangunan gedung, tidak hanya dipengaruhi oleh aspek teknis dan tata ruang, tetapi juga oleh keragaman kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sembilan kabupaten/kota.
Faktor seperti pendapatan daerah, daya beli masyarakat, tradisi arsitektur Bali, serta kesenjangan pembangunan antarwilayah menciptakan variasi yang signifikan dalam kualitas dan pola penyelenggaraan bangunan gedung di Bali.
Pembangunan gedung di Bali harus menyeimbangkan efisiensi ekonomi, ketahanan lingkungan, dan kelestarian budaya lokal, dengan tetap mengacu pada filosofi Tri Hita Karana dan prinsip arsitektur Bali yang harmonis dengan alam.
2. Pengaruh Kondisi Sosial Ekonomi
a. Tingkat Ekonomi Lokal
Pendapatan per kapita dan kemampuan fiskal daerah secara langsung mempengaruhi kemampuan masyarakat dan pemerintah dalam membangun serta memelihara bangunan gedung.
Kabupaten dengan perekonomian kuat seperti Badung dan Denpasar memiliki kualitas sarana publik dan bangunan pemerintah yang lebih baik dibandingkan wilayah dengan kapasitas fiskal terbatas seperti Bangli dan Karangasem.
Disparitas ini berimplikasi pada ketimpangan kualitas pelayanan publik, khususnya dalam sektor pendidikan, kesehatan, dan permukiman.
b. Sumber Pendanaan
Pendanaan pembangunan gedung umumnya bersumber dari APBD, investasi swasta, dan dana desa.
Daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi dapat mempercepat pembangunan fasilitas publik seperti sekolah, puskesmas, dan kantor pemerintahan.
Sebaliknya, daerah dengan PAD rendah bergantung pada transfer pusat (DAK, DBH, atau hibah), yang seringkali membatasi ruang fiskal untuk pemeliharaan bangunan.
c. Kesenjangan Antarwilayah
Tingkat urbanisasi di wilayah Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) lebih tinggi dibandingkan wilayah pegunungan seperti Bangli dan Buleleng bagian utara.
Hal ini menimbulkan kesenjangan dalam penyediaan sarana publik, terutama perumahan layak, sekolah, dan fasilitas kesehatan.
Kesenjangan tersebut mencerminkan tantangan pemerataan pembangunan, di mana wilayah padat tumbuh cepat namun rawan banjir dan kepadatan, sementara wilayah pedesaan lambat berkembang namun masih menjaga keseimbangan ekologis.
3. Pengaruh Kondisi Budaya
a. Arsitektur Tradisional Bali
Setiap pembangunan di Bali harus memperhatikan Asta Kosala Kosali, Tri Angga, dan Tri Mandala — prinsip tata ruang dan proporsi yang mengatur keselarasan bangunan dengan kosmologi Hindu Bali.
Keinginan masyarakat untuk mempertahankan keaslian arsitektur Bali membuat proses pembangunan sering kali lebih panjang dan mahal, karena melibatkan Undagi (arsitek tradisional) dan penggunaan material lokal seperti bata merah dan batu paras.
Namun demikian, nilai estetika dan filosofi arsitektur tradisional ini menjadikan Bali unik dan memiliki daya saing pariwisata arsitektural di tingkat global.
b. Nilai Spiritual dan Kosmologi
Konsep kaja–kelod (arah gunung–laut) dan kangin–kauh (timur–barat) masih menjadi dasar dalam menentukan orientasi bangunan.
Bangunan tempat suci, rumah tinggal, dan fasilitas publik sering kali menyesuaikan dengan arah spiritual dan kesucian lokasi.
Hal ini menuntut fleksibilitas dalam peraturan tata bangunan agar aspek budaya tidak dikorbankan oleh regulasi teknokratis.
c. Prinsip Tri Hita Karana
Prinsip ini menekankan hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan sesama (Pawongan), dan manusia dengan alam (Palemahan).
Dalam konteks bangunan gedung, prinsip ini diwujudkan melalui pengelolaan ruang terbuka hijau, sirkulasi udara alami, orientasi bangunan terhadap alam, serta fungsi sosial ruang publik.
4. Pengaruh Kondisi Sosial
a. Tingkat Pendidikan dan Kesadaran Teknis
Pemahaman masyarakat terhadap pentingnya keselamatan bangunan, sanitasi, dan izin PBG–SLF masih beragam.
Masyarakat dengan tingkat pendidikan lebih tinggi, seperti di Denpasar dan Badung, cenderung lebih taat terhadap aturan teknis, sementara masyarakat di daerah pedesaan sering kali masih mengandalkan praktik tradisional dalam pembangunan.
b. Struktur Sosial dan Peran Adat
Pembangunan bangunan gedung di Bali tidak terlepas dari peran Desa Adat dan Banjar.
Struktur sosial ini berfungsi sebagai pengawas sosial informal terhadap kegiatan pembangunan.
Partisipasi masyarakat adat dapat memperkuat pengawasan terhadap pemanfaatan ruang dan pelestarian lingkungan.
c. Kepadatan Penduduk
Wilayah dengan kepadatan tinggi, seperti Denpasar, Kuta, dan Gianyar, menghadapi tekanan besar terhadap lahan.
Solusinya adalah pembangunan vertikal yang ramah budaya dan lingkungan, misalnya Balinese-style vertical housing yang tetap mengadopsi estetika dan prinsip arsitektur lokal.
Sementara itu, daerah dengan kepadatan rendah seperti Bangli atau Jembrana berpotensi menjadi lokasi pengembangan permukiman berbasis ekowisata dan konservasi.
5. Implikasi bagi Penyelenggaraan Bangunan Gedung di Bali
- Perlu Diferensiasi Regulasi Antarwilayah.
Penerapan PBG dan standar teknis bangunan perlu disesuaikan dengan karakter sosial ekonomi dan budaya masing-masing kabupaten/kota - Integrasi Aspek Kultural dalam Standar Teknis.
Setiap dokumen perencanaan teknis wajib mengakomodasi nilai-nilai lokal, termasuk prinsip Tri Hita Karana dan Arsitektur Bali. - Percepatan Pemerataan Pembangunan.
Wilayah tertinggal perlu mendapat prioritas bantuan perencanaan teknis dan peningkatan kapasitas tenaga ahli daerah. - Peningkatan Kapasitas SDM Lokal.
Program pelatihan teknis, sertifikasi Undagi, dan kolaborasi dengan perguruan tinggi arsitektur Bali perlu diperkuat. - Pemanfaatan Teknologi dan Data Sosial Ekonomi.
Analisis data spasial dan sosial ekonomi dapat membantu penetapan prioritas pembangunan berbasis wilayah.
6. Refleksi untuk Kita Semua
Keragaman sosial ekonomi dan budaya Bali bukanlah hambatan, melainkan modal sosial dan spiritual untuk membangun masa depan yang lebih harmonis.
Arsitektur Bali mengajarkan bahwa setiap bangunan bukan hanya struktur fisik, tetapi tempat hidup nilai dan keseimbangan.
Tugas kita bersama—pemerintah, masyarakat, dan profesional teknik—adalah memastikan bahwa setiap pembangunan tidak hanya kokoh secara teknis, tetapi juga luhur secara budaya.
Kita perlu kembali pada semangat dasar pembangunan Bali: ngastiti bakti ring bhuana, membangun dengan rasa hormat terhadap bumi, air, dan ruang kehidupan.
“Bangunan yang kuat menjaga keselamatan manusia.
Bangunan yang bijak menjaga keharmonisan alam.” 🌿
7. Daftar Pustaka
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
- Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002.
- Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Arsitektur Tradisional Bali.
- Peraturan Gubernur Bali Nomor 25 Tahun 2024 tentang Kajian Risiko Bencana Provinsi Bali.
- BPS Provinsi Bali (2025). Data Sosial Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.
- Bappeda Provinsi Bali (2025). Rancangan RPJMD 2025–2029 dan Rencana Tata Ruang 2025–2043.
- Dinas PUPRPKP Provinsi Bali (2025). Telaahan PBG–SLF dan Pembangunan Berbasis Budaya di Bali.
- UNESCO (2012). Cultural Landscape of Bali Province: The Subak System as a Manifestation of Tri Hita Karana Philosophy.
