1. Pendahuluan
Ketentuan tata bangunan merupakan salah satu komponen penting dalam RDTR yang berfungsi menjaga keselamatan, keamanan, kenyamanan, serta karakter visual kawasan.
Sebagaimana diatur dalam Lampiran IV Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 2021, ketentuan ini memastikan bahwa setiap bangunan tidak hanya memenuhi persyaratan teknis tetapi juga mencerminkan keserasian dengan lingkungan dan nilai-nilai sosial budaya di wilayahnya.
Di Bali, implementasi tata bangunan memiliki makna yang lebih luas. Selain aspek struktural dan teknis, pengaturan ini juga menjadi sarana pelestarian Arsitektur Bali, yang berakar pada filosofi Tri Hita Karana dan konsep ruang Tri Mandala–Tri Angga, yang menata keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
2. Komponen Ketentuan Tata Bangunan
Sebagaimana diatur dalam regulasi nasional, komponen utama ketentuan tata bangunan mencakup aspek fisik, fungsional, dan estetika.
a) Ketinggian Bangunan (TB) Maksimum
Ketinggian bangunan adalah batas maksimum tinggi bangunan gedung yang diizinkan pada suatu lokasi tertentu, diukur dari tanah hingga puncak atap.
Penetapan ketinggian mempertimbangkan:
- Kapasitas infrastruktur dan jaringan jalan,
- Konteks visual lanskap (skyline), dan
- Keharmonisan dengan bangunan suci atau kawasan sakral di sekitarnya.
📍 Implikasi untuk Bali:
Ketinggian bangunan harus memperhatikan prinsip “atap tidak lebih tinggi dari pohon kelapa”, atau maksimal 15 m sebagaimana diatur dalam Perda RTRW Provinsi Bali.
Di kawasan perkotaan seperti Denpasar dan Badung, penentuan ketinggian harus selaras dengan daya dukung infrastruktur dan risiko bencana, terutama gempa dan banjir.
b) Garis Sempadan Bangunan (GSB) Minimum
GSB adalah jarak minimum antara garis pagar dengan dinding bangunan terdepan.
Fungsinya meliputi:
- Menjamin sirkulasi udara dan cahaya alami,
- Mengurangi risiko kebakaran dan kepadatan ekstrem, serta
- Menyediakan ruang hijau atau area resapan air.
📍 Untuk Bali:
GSB dapat disinergikan dengan natah dalam arsitektur tradisional Bali—ruang terbuka di tengah pekarangan yang menjadi simbol harmoni antara manusia dan alam.
Di kawasan padat seperti Denpasar dan Gianyar, GSB minimal 3–5 meter sebaiknya diwajibkan untuk fungsi resapan dan vegetasi hijau.
c) Jarak Bebas Antarbangunan (JBB) dan Jarak Bebas Samping (JBS)
Ketentuan ini menjaga ventilasi alami, privasi, dan keselamatan.
JBB dan JBS juga berperan dalam:
- Menghindari “efek lembah panas” (heat canyon) di area padat,
- Memberi ruang bagi akses darurat kebakaran,
- Menyediakan jalur utilitas bawah tanah dan drainase lingkungan.
📍 Untuk Bali:
Konsep ini sangat selaras dengan pola pekarangan Bali tradisional (uma–natah–pamerajan) yang secara alami membentuk jarak antarbangunan dengan fungsi ekologis dan spiritual.
d) Tampilan dan Karakter Bangunan
Aspek visual atau estetika bangunan diatur dengan mempertimbangkan warna, tekstur, bahan, gaya arsitektur, serta keserasian dengan lingkungan sekitar.
Tampilan bangunan bukan sekadar estetika, tetapi juga ekspresi identitas daerah.
📍 Untuk Bali:
Bangunan wajib mencerminkan karakter arsitektur lokal — penggunaan material seperti batu padas, bata merah, atap genteng, ornamen ukiran tradisional, serta tata letak ruang yang mengikuti prinsip Tri Mandala.
Namun demikian, adaptasi terhadap teknologi dan keberlanjutan tetap diperbolehkan dengan pendekatan Arsitektur Bali Modern Berkelanjutan (Sustainable Balinese Architecture), yang menggabungkan tradisi dengan efisiensi energi dan bahan ramah lingkungan.
3. Integrasi dengan RTRW dan RTBL
Ketentuan tata bangunan dalam RDTR merupakan turunan operasional dari RTRW kabupaten/kota, dan menjadi acuan teknis lebih rinci bagi Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Keterpaduan ini memastikan agar arah pembangunan wilayah tidak hanya terencana di atas peta, tetapi juga terwujud dalam bentuk fisik bangunan yang sesuai daya dukung ruang.
Implementasi yang efektif memerlukan:
- Konsistensi antar-dokumen (RTRW, RDTR, RTBL, dan Peraturan Bangunan Gedung),
- Koordinasi lintas instansi (PUPRKIM, DLHK, Dinas Kebudayaan, dan Bappeda), dan
- Partisipasi masyarakat adat dan desa pakraman dalam pengawasan pemanfaatan ruang.
4. Implikasi untuk Bali
Krisis banjir, kepadatan urban, dan erosi nilai arsitektur tradisional menjadi alarm bagi arah pembangunan Bali ke depan.
Ketentuan tata bangunan bukan sekadar aturan teknis, tetapi instrumen konservasi budaya dan keberlanjutan lingkungan.
Beberapa implikasi utama bagi Bali:
- Standar Tata Bangunan Hijau (Green Building Code Bali) perlu dikembangkan, mengintegrasikan prinsip efisiensi energi, air, dan material lokal.
- Panduan Arsitektur Bali harus menjadi lampiran wajib dalam RDTR dan RTBL kabupaten/kota.
- Kawasan sakral dan tradisional (pura, subak, desa adat) harus memiliki ketentuan ketinggian dan tampilan khusus untuk melindungi kesucian lanskap budaya.
-
Kolaborasi lintas disiplin antara arsitek, perencana, dan masyarakat adat menjadi prasyarat utama dalam penerapan RDTR.
5. Refleksi: “Bangunan Adalah Cermin Jiwa Ruang”
Bangunan bukan hanya struktur beton — ia adalah pernyataan nilai, keyakinan, dan karakter suatu peradaban.
Di Bali, arsitektur adalah doa yang diwujudkan dalam bentuk ruang.
Namun, di tengah dorongan ekonomi dan modernisasi, makna ini kian terancam.
Ketika bangunan kehilangan harmoni dengan alam dan budaya, maka ruang pun kehilangan rohnya.
Kini, momentum pasca-banjir 2025 menjadi panggilan untuk menata kembali:
“Membangun Bali bukan hanya menegakkan dinding, tetapi menegakkan nilai.”
Dengan mengembalikan prinsip Tri Hita Karana dalam setiap desain, Bali tidak hanya akan tangguh terhadap bencana, tetapi juga akan tetap menjadi pulau yang indah — bukan hanya dilihat, tetapi dirasakan.
6. Kesimpulan dan Rekomendasi
- Ketentuan Tata Bangunan dalam RDTR harus dipahami sebagai upaya menjaga keselamatan dan identitas lokal, bukan sekadar angka dan tabel teknis.
- Arsitektur Bali perlu dijadikan acuan wajib bagi seluruh perencanaan bangunan publik dan pariwisata di Pulau Bali.
- Pemerintah Provinsi Bali bersama kabupaten/kota perlu menyusun Pergub Bali tentang Tata Bangunan dan Arsitektur Lokal Berkelanjutan yang berorientasi pada adaptasi iklim dan konservasi budaya.
- Penerapan prinsip “Smart, Green, and Sacred Design” akan menuntun Bali menjadi contoh pembangunan tropis berkelanjutan di dunia.
Daftar Pustaka
- Kementerian ATR/BPN. (2021). Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi.
- Pemerintah Provinsi Bali. (2023). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang RTRW Provinsi Bali 2023–2043.
- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (2024). Pergub DKI Jakarta Nomor 20 Tahun 2024 tentang Ketentuan Tata Bangunan.
- UNESCO (2012). Cultural Landscape of Bali Province: The Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy.
- Bappeda Provinsi Bali. (2025). Draft Blueprint Pembangunan Bali 2025–2030.
