1. Pendahuluan
Dalam rangka penyusunan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, pemerintah pusat melalui Direktorat Bina Penataan Bangunan, Ditjen Cipta Karya, Kementerian PUPR, tengah menghimpun masukan dari berbagai pemangku kepentingan daerah.
Salah satu isu strategis yang menjadi perhatian adalah kemudahan penyediaan dokumen perencanaan teknis untuk mempercepat penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF), dengan tetap menjamin aspek keselamatan, kelestarian, dan nilai-nilai lokal.
Penerapan sistem PBG–SLF nasional membutuhkan dukungan kapasitas daerah, khususnya dalam menyediakan akses terhadap penyedia jasa profesional dan layanan konsultansi teknis publik, agar prinsip pembangunan inklusif dan berkelanjutan dapat terwujud di seluruh wilayah Indonesia — termasuk Provinsi Bali.
2. Gambaran Umum Penyelenggaraan Bangunan Gedung di Daerah
Secara umum, penyelenggaraan bangunan gedung telah terintegrasi melalui sistem Online Single Submission – Risk Based Approach (OSS–RBA). Namun, pelaksanaannya di tingkat kabupaten/kota masih menghadapi sejumlah kendala, antara lain:
- Terbatasnya SDM ahli teknis dan penyedia jasa perencana profesional.
 - Belum optimalnya integrasi sistem OSS–PBG dengan data tata ruang digital (RTRW–RDTR).
 - Belum tersedianya layanan konsultansi publik yang membantu masyarakat menyiapkan dokumen perencanaan teknis (DPT) sesuai standar.
 
Khusus di Bali, tantangan semakin kompleks karena penyelenggaraan bangunan wajib menyesuaikan dengan Arsitektur Tradisional Bali (Asta Kosala Kosali, Tri Angga, Tri Mandala) serta nilai-nilai Tri Hita Karana. Artinya, PBG tidak hanya persoalan administratif, tetapi juga persoalan identitas budaya dan harmoni ruang hidup.
3. Gambaran Umum Kondisi Ekonomi Masyarakat
Mayoritas masyarakat Bali, khususnya di luar wilayah Sarbagita, tergolong Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan masih membangun rumah atau tempat usaha sederhana secara mandiri.
Kendala utamanya adalah keterbatasan biaya untuk menyewa konsultan profesional dalam penyusunan DPT. Akibatnya, banyak bangunan yang dibangun tanpa PBG atau dengan dokumen teknis yang tidak memenuhi standar keselamatan dan tata ruang.
Kondisi ini menyebabkan munculnya backlog legalitas bangunan, menurunnya kualitas lingkungan permukiman, dan meningkatnya risiko bencana seperti banjir dan kebakaran.
4. Pembinaan Penyelenggaraan Bangunan Gedung kepada Masyarakat
Pemerintah daerah memiliki peran sentral dalam meningkatkan awareness dan literasi teknis masyarakat. Beberapa bentuk pembinaan yang telah dilakukan oleh Dinas PUPR kabupaten/kota dan provinsi meliputi:
- Sosialisasi peraturan PBG–SLF melalui forum masyarakat dan desa adat.
 - Pendampingan teknis penyusunan gambar dan dokumen bagi bangunan sederhana.
 - Pembentukan Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) dan Tim Profesi Ahli (TPA) di tingkat daerah sebagai mitra pemerintah dalam verifikasi teknis.
 - Inisiatif “Konsultasi Gratis Bangunan Aman” di beberapa daerah yang memberikan bimbingan teknis bagi masyarakat yang hendak mengajukan izin.
 
Namun, kegiatan pembinaan ini masih bersifat sporadis dan belum memiliki sistem pembiayaan berkelanjutan. Diperlukan kebijakan nasional yang memberikan ruang fiskal atau mekanisme insentif untuk memperluas jangkauan konsultansi teknis publik.
5. Kendala dan Upaya yang Dilakukan
| Isu/Kendala Utama | Penjelasan | Upaya yang Sudah Dilakukan | 
|---|---|---|
| Keterbatasan Tenaga Ahli | Tenaga perencana/arsitek profesional terbatas di daerah | Pelatihan teknis dan pembentukan TABG/TPA | 
| Biaya perencanaan tinggi | MBR tidak mampu menyewa konsultan profesional | Usulan Modul Desain Terstandar | 
| Minimnya layanan konsultansi publik | Belum semua kabupaten punya helpdesk teknis | Pilot project Konsultasi Bangunan Aman | 
| Integrasi OSS–RDTR belum optimal | Proses verifikasi lokasi masih manual | Pemetaan RDTR digital di Bali Selatan | 
6. Aspek Sosial Budaya dan Kearifan Lokal
Pembangunan di Bali memiliki dimensi sosial dan spiritual yang unik.
Orientasi bangunan terhadap gunung dan laut, keserasian proporsi Tri Angga, serta pembagian ruang utama–madya–nista menjadi bagian dari identitas arsitektur Bali.
Sistem perizinan bangunan (PBG) perlu menyesuaikan diri dengan struktur sosial masyarakat adat.
Desa adat dan Undagi harus dilibatkan dalam proses validasi teknis, agar regulasi tidak bertentangan dengan filosofi ruang Bali yang menekankan harmoni antara Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.
7. Strategi Penguatan Implementasi
- Membentuk Unit Layanan Konsultansi Teknis Publik (Government Helpdesk) di setiap Dinas PUPR Kabupaten/Kota untuk memberikan pendampingan gratis atau bersubsidi bagi MBR.
 - Mengembangkan Modul Desain Rencana Teknis Terstandar (DRTT) untuk rumah sederhana dan fasilitas umum yang siap pakai.
 - Mendorong Kemitraan Pemerintah–Perguruan Tinggi–Asosiasi Profesi dalam program klinik desain masyarakat.
 - Digitalisasi sistem OSS–PBG terhubung langsung dengan peta RDTR Online.
 - Kampanye kesadaran masyarakat (public awareness) dengan narasi budaya Bali: “Bangunan yang selaras dengan alam dan adat adalah bangunan yang berizin, aman, dan lestari.”
 
8. Implikasi bagi Provinsi Bali
- Perluasan Akses Layanan Konsultansi Teknis Gratis:
Bali dapat menjadi pilot province nasional untuk pengembangan Pusat Konsultansi Bangunan Aman dan Lestari berbasis arsitektur lokal. - Integrasi Undagi dan TABG dalam Sistem PBG:
Dengan regulasi yang fleksibel, Undagi dapat diakui sebagai bagian dari sistem verifikasi teknis bangunan sederhana yang mengedepankan nilai budaya. - Standarisasi Arsitektur Tradisional Bali dalam Modul Nasional:
Arsitektur Bali dapat menjadi model design module untuk daerah-daerah lain yang memiliki kearifan arsitektur lokal (misalnya, Minangkabau, Toraja, Papua). - Mendorong Penerapan Prinsip SHBB (Standar Hijau Biru Bali):
Setiap dokumen teknis bangunan diwajibkan mencantumkan perhitungan Zero Run Off, sistem drainase ekologis, dan ruang hijau adaptif terhadap iklim. 
9. Refleksi untuk Kita Semua
Pembangunan yang sejati bukan sekadar membangun fisik bangunan, tetapi membangun kesadaran dan tanggung jawab terhadap ruang hidup bersama.
Bali, dengan filosofi Tri Hita Karana, mengingatkan kita bahwa ruang bukan hanya milik manusia, melainkan juga bagian dari harmoni alam dan spiritualitas.
Kemudahan akses terhadap penyedia jasa dan konsultansi teknis bukan hanya isu teknokratik, melainkan wujud nyata keberpihakan negara terhadap masyarakat kecil.
Dengan menyediakan layanan teknis yang mudah diakses, negara hadir untuk menjamin bahwa setiap rumah, sekolah, dan tempat ibadah dibangun dengan aman, layak, dan bermartabat.
“Bangunan yang baik bukan hanya kuat menahan gempa, tetapi juga teguh menegakkan nilai dan budaya tempat ia berdiri.”
10. Daftar Pustaka
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
 - Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
 - Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Revisi PP Bangunan Gedung, Direktorat Bina Penataan Bangunan, Kementerian PUPR, 2025.
 - Peraturan Gubernur Bali Nomor 25 Tahun 2024 tentang Kajian Risiko Bencana Provinsi Bali.
 - Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 20 Tahun 2024 tentang Ketentuan Tata Bangunan.
 - Bappeda Provinsi Bali (2025). Rancangan RPJMD Provinsi Bali 2025–2029.
 - Dinas PUPRPKP Provinsi Bali (2025). Telaahan Implementasi PBG dan SLF di Bali.
 - Kementerian PUPR (2023). Panduan Teknis Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi.
 
