Refleksi atas Perencanaan Spasial, Pengendalian Risiko, dan Ketahanan Lingkungan di Bali
I. Pendahuluan
Bencana banjir yang melanda Bali pada 9–10 September 2025 menandai titik balik penting dalam praktik penataan ruang dan pengelolaan lingkungan. Fenomena ini bukan sekadar akibat curah hujan ekstrem, tetapi mencerminkan kegagalan keseimbangan spasial: ruang lindung yang berkurang, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, serta lemahnya integrasi antara dokumen tata ruang dan instrumen pelaksanaannya di lapangan.
Dalam konteks ini, Ketentuan Khusus dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) menjadi instrumen strategis untuk mengatur zona-zona rawan bencana, sempadan, kawasan resapan air, dan wilayah ekologis sensitif lainnya melalui sistem overlay zoning.
Ketentuan ini bukan sekadar pelengkap peraturan zonasi dasar, tetapi berfungsi sebagai lapisan adaptif terhadap dinamika lingkungan dan risiko hidrometeorologi di masa depan.
II. Esensi Ketentuan Khusus dalam RDTR
Ketentuan khusus adalah aturan tambahan yang ditampalkan (overlay) di atas aturan dasar zonasi karena adanya karakteristik atau fungsi tertentu yang membutuhkan pengaturan tersendiri.
Beberapa contoh kawasan dengan ketentuan khusus mencakup:
- Kawasan rawan bencana, termasuk DAS kritis dan sempadan sungai;
- Kawasan resapan air dan buffer zone;
- Lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B);
- Kawasan berorientasi transit (TOD);
- Kawasan cagar budaya dan kawasan sakral.
Dalam konteks Bali pasca-banjir 2025, fokus ketentuan khusus seharusnya diarahkan pada penguatan resilience zoning untuk mengatur kembali wilayah-wilayah yang mengalami tekanan lingkungan tinggi seperti Tukad Mati, Tukad Ayung, Tukad Badung, Nuansa Kori, dan kawasan Sarbagita.
III. Analisis Kontekstual: Ketentuan Khusus sebagai Alat Adaptasi Spasial
1. Penataan Ulang Zona Rawan Banjir dan Resapan Air
Banjir yang melanda Sarbagita memperlihatkan bahwa zona sempadan dan resapan air tidak berfungsi sebagaimana mestinya. RDTR perlu memuat aturan ketat terkait:
- Penetapan Koefisien Dasar Hijau (KDH) minimal 40% di kawasan padat;
- Larangan pembangunan permanen pada sempadan sungai minimal 15–30 meter sesuai PP No. 38 Tahun 2011 dan Permen PUPR No. 28 Tahun 2015;
- Penetapan overlay Kawasan Rawan Banjir (KRB) sebagai dasar pengendalian izin bangunan dan aktivitas ekonomi.
Ketentuan ini sejalan dengan Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2021 Lampiran IV, yang menegaskan bahwa RDTR harus memuat aturan zonasi kontekstual terhadap risiko bencana.
2. Ketentuan Khusus untuk Kawasan Rawan Bencana (KRB)
Bali harus memperbarui database geospasialnya agar zona KRB dapat diintegrasikan dengan sistem Disaster Risk Reduction and Surge Facility (DRRS) hasil kerja sama dengan Belanda.
Ketentuan ini tidak hanya bersifat preventif, tetapi juga progresif, mendorong inovasi seperti:
- Pengembangan green buffer zones di hilir DAS;
- Implementasi nature-based solutions (NbS) di kawasan kritis;
- Penetapan zona non-struktural untuk konservasi air tanah dan pengendalian limpasan.
3. Integrasi Nilai Kultural dan Spiritualitas
RDTR adaptif Bali tidak dapat dipisahkan dari nilai Sad Kerthi dan Tri Hita Karana, yang menempatkan keseimbangan antara palemahan (alam), pawongan (manusia), dan parhyangan (spiritualitas).
Kawasan suci, sumber air (tirta), dan sempadan sungai yang memiliki fungsi religius harus dimasukkan sebagai zona suci air (holy water zones) dalam peta RDTR dengan ketentuan perlindungan ketat sebagaimana diamanatkan Pergub Bali No. 24 Tahun 2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut.
IV. Penguatan Implementasi: Dari Regulasi ke Operasional
Untuk menjadikan ketentuan khusus efektif, perlu langkah konkret lintas sektor:
- Pemutakhiran Basis Data Geospasial (SIG–RTR)
RDTR adaptif harus berbasis pada sistem informasi geospasial dinamis, yang memperbarui data hidrologi, topografi, dan risiko banjir secara berkala. - Sinergi dengan Kebijakan Penanggulangan Banjir
Ketentuan khusus RDTR harus menjadi acuan dalam rencana teknis yang disusun oleh BWS Bali–Penida, Dinas PUPRPKP, dan Tim DRRS untuk Rehabilitasi DAS Sarbagita. - Partisipasi Desa Adat dan Komunitas Lokal
Desa adat sebagai pengelola ruang sosial-spiritual dapat berperan dalam pengawasan zona suci dan kawasan sempadan melalui sistem berbasis awig-awig lingkungan. - Penerapan Sanksi dan Insentif
Ketentuan khusus perlu diikuti dengan mekanisme disinsentif terhadap pelanggaran ruang serta insentif bagi kegiatan restorasi ekosistem, seperti pengurangan pajak lahan hijau atau dukungan CSR.
V. Implikasi bagi Bali
- Transformasi menuju tata ruang tangguh bencana yang menempatkan integrasi RTRW–RDTR–SIG sebagai instrumen pengendalian nyata.
- Penguatan kelembagaan lintas sektor, di mana Dinas PUPRPKP berperan sebagai spatial integrator antara aspek teknik dan kultural.
- Revitalisasi nilai lokal dalam kebijakan zonasi sebagai upaya mengembalikan keseimbangan alam dan spiritualitas Bali pasca-banjir.
VI. Refleksi untuk Kita Semua
Banjir Bali 2025 bukan hanya tragedi ekologis, tetapi peringatan moral bahwa tata ruang tanpa jiwa adalah ruang yang kehilangan makna.
Ketentuan khusus dalam RDTR hendaknya tidak dipahami sekadar sebagai teks hukum, melainkan sebagai kompas kesadaran ruang — yang mengingatkan kita bahwa menjaga alam bukan hanya tugas teknis, tetapi kewajiban spiritual.
Dalam filosofi Bali, air (tirta) adalah sumber kesucian dan kesejahteraan. Maka setiap peta zonasi sejatinya adalah peta doa — agar ruang yang kita bangun menjadi ruang yang menumbuhkan kehidupan, bukan menenggelamkannya.
VII. Daftar Pustaka
- Kementerian ATR/BPN. (2021). Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang.
- Pemerintah Provinsi Bali. (2020). Peraturan Gubernur Bali No. 24 Tahun 2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut.
- Pemerintah Republik Indonesia. (2021). PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
- Dinas PUPRPKP Provinsi Bali & BWS Bali–Penida. (2025). Laporan Koordinasi Penanggulangan Banjir Bali dan Rehabilitasi DAS Sarbagita.
- DRRS Netherlands–Indonesia. (2025). Integrated Urban Flood Management Framework for Denpasar and Surrounding Areas.
- Suastika, I. N., & Hartini, D. (2023). “Adaptive Zoning and Flood Risk Mitigation: Case Study of Bali.” Journal of Urban Resilience, 12(3), 221–239.
- Widiatmika, A. A. (2022). “Sad Kerthi as an Ecological Governance Framework for Spatial Planning in Bali.” Local Wisdom and Environmental Policy Journal, 10(1), 45–61.
