Provinsi Bali, yang kaya akan keindahan alam dan kearifan lokalnya, telah menetapkan langkah-langkah penting melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2023. Dalam konteks kearifan lokal Bali, pengaturan sempadan pantai tidak hanya sekadar batas fisik, melainkan mencerminkan filsafat hidup dan kebijaksanaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Berikut adalah pandangan tentang bagaimana peraturan ini mencerminkan kearifan lokal Bali:
Tri Hita Karana – Keseimbangan Tiga Konsep:
Konsep “Tri Hita Karana” menjadi panduan dalam menetapkan peraturan sempadan pantai. Ini memandang keseimbangan antara tiga entitas, yaitu manusia, alam, dan dewa. Dalam menegakkan batas dan kebijakan, kearifan lokal Bali merayakan keseimbangan tersebut untuk mencapai harmoni sejati.
Nyegara Gunung – Kesatuan Alam dan Rohani:
Peraturan ini merefleksikan prinsip “Nyegara Gunung,” yaitu kesatuan antara alam dan rohaniah. Sempadan pantai sebagai batas yang melibatkan tidak hanya dimensi fisik tetapi juga nilai-nilai spiritual, menciptakan hubungan yang mendalam antara masyarakat dan lingkungan laut.
Prinsip Nyegara Gunung mengakui bahwa alam dan rohaniah saling terkait dan membentuk sebuah kesatuan. Sempadan pantai merupakan titik konvergensi di mana dimensi fisik dan spiritual bersatu, menciptakan keseimbangan yang harmonis.
Sempadan pantai tidak hanya sebagai garis pemisah antara daratan dan laut, melainkan juga sebagai wilayah yang sarat dengan makna spiritual. Setiap tindakan terkait sempadan pantai merupakan upaya untuk mempertahankan nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal.
Prinsip Nyegara Gunung mendorong keterlibatan aktif masyarakat dalam merawat sempadan pantai. Melalui upacara-upacara adat dan keagamaan, masyarakat telah berperan untuk menjaga kesucian lingkungan laut dan merenungkan hubungan mendalam antara manusia dan alam.
Nyegara Gunung mengajak untuk memelihara tradisi leluhur dalam pengelolaan sempadan pantai. Ini mencakup pelaksanaan upacara-upacara tradisional yang menghormati kehadiran rohaniah di wilayah tersebut.
Dasa Rudra – Menghormati Energi Alam:
Dalam kaitannya dengan sempadan pantai, prinsip “Dasa Rudra” mengajarkan untuk menghormati dan menjaga energi alam. Penyusunan dan penetapan batas dan pemanfaatan ruang bertujuan agar tidak merusak keseimbangan ekosistem pesisir.
Konsep “Dasa Rudra” merupakan ajaran agama Hindu, dan dalam konteks tradisi Bali, prinsip ini menjadi landasan filosofis yang sangat penting. Dasa Rudra merupakan serangkaian upacara besar untuk menghormati energi alam dan mengekspresikan rasa penghargaan terhadap kekuatan alam yang memengaruhi kehidupan sehari-hari. Upacara ini memiliki relevansi yang signifikan dalam pemahaman dan penjagaan sempadan pantai, di mana keseimbangan ekosistem pesisir menjadi fokus utama.
Konsep Dasa Rudra mengajarkan penghormatan terhadap energi alam, yang mencakup laut dan pesisir. Dalam mengatur sempadan pantai, prinsip ini mendorong untuk memperlakukan laut sebagai entitas yang hidup, layaknya makhluk hidup yang memiliki kekuatan dan keberlanjutan sendiri.
Dasa Rudra menekankan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Saat menyusun batas sempadan pantai, kebijaksanaan diutamakan agar pemanfaatan ruang tidak merusak struktur ekosistem pesisir. Ini mencerminkan pengertian bahwa manusia harus hidup berdampingan secara harmonis dengan alam.
Ritual “Eka Dasa Rudra” yang pelaksanaannya saat satuan dan puluhan berganti tahun menandai momen penting dalam tradisi Bali. Hal ini mencerminkan perhitungan tahun saka dan menunjukkan siklus alam yang terus berputar. Dalam konteks sempadan pantai, momen ini bisa menjadi pengingat akan pentingnya merayakan perubahan tahun dengan komitmen untuk menjaga kelestarian pesisir.

Astungkara – Rasa Syukur dan Penghargaan:
Penekanan pada perlindungan pantai, rekreasi, Ruang Terbuka Hijau, dan kegiatan sosial budaya menggambarkan sikap “Astungkara” atau rasa syukur dan penghargaan terhadap karunia alam. Kearifan lokal Bali tercermin dalam upaya melestarikan kekayaan alam sebagai bentuk ucapan terima kasih.
Desa Kala Patra – Menghormati Konteks Waktu dan Tempat:
Pentingnya mempertimbangkan konteks waktu dan tempat, sebagaimana konsep “Desa Kala Patra,” tercermin dalam kajian teknis batas sempadan pantai. Pengelolaan kawasan pantai penting untuk memahami perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat setempat.
Pelebon – Penghormatan terhadap Leluhur:
Upaya pelestarian dan perlindungan lokasi melasti mencerminkan nilai “Pelebon,” yaitu penghormatan terhadap leluhur. Tempat-tempat suci di kawasan pantai penting untuk kita jaga dan hormati sebagai warisan spiritual yang harus lestarikan keasliannya.
Sarwa Dharma Prakasa – Hidup Sesuai dengan Ajaran Dharma:
Dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian, peraturan ini menerapkan prinsip “Sarwa Dharma Prakasa,” yaitu hidup sesuai dengan ajaran Dharma. Dengan mempertimbangkan nilai budaya dan spiritual, pengaturan pemanfaatan ruang agar selaras dengan prinsip kearifan lokal.
Yadnya Kasada – Pengorbanan demi Keseimbangan:
Perlakuan terhadap pantai berbentuk jurang dan berhutan bakau mengikuti prinsip “Yadnya Kasada,” di mana pengorbanan demi keseimbangan ekosistem menjadi keniscayaan. Pengembangan dan pelestarian struktur alami dan buatan di kawasan pantai adalah bentuk pengorbanan untuk menjaga harmoni alam.
Dengan merangkul kearifan lokal Bali, Perda Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 menciptakan landasan hukum yang tidak hanya menjaga sempadan pantai secara fisik tetapi juga merawat spiritualitas dan keseimbangan alam. Dalam menyusun dan melaksanakan regulasi ini, Bali tetap setia pada nilai-nilai leluhur, membuktikan bahwa keberlanjutan bukanlah sekadar konsep, melainkan cara hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi.