Ruang Ideal Bali Dalam Tekanan Globalisasi

Pengembangan pemahaman ruang dalam arsitektur Bali sangat dipengaruhi oleh teologi, filosofi, dan konsep ajaran agama Hindu, dengan demikian eksistensi tata ruang Bali sejatinya adalah pembumian ideologi Hindu. Ajaran Hindu seperti: tat twam asi, bhuana agung – bhuana alit, panca maha bhuta, tri hita karana, tri bhuwana, purusha-pradhana, dan lainnya, menjadi prinsip praktis kearsitekturan, seperti, tri mandala, sanga mandala, tri angga, sukat ‘ukuran’, natah, ragam hias, warna, tekstur dan lainnya.

Spiritualitas ke-Hinduan dalam pola ruang dan tata bangunan arsitektur Bali diwujudkan dengan: (1) Penataan struktur fisik, bangunan, landsekap, kesesuaian antropometri pemilik, topografi, geografi, dan iklim setempat, serta estetika (bentuk olah yoga). (2) Beraneka makna dan simbol-simbol pada tata ruang dan fisik bangunannya (bentuk olah yantra, dan tantra). (3) Tata cara mendirikan bangunan, ritual yang menyertai selama masa pra konstruksi, konstruksi, dan pasca konstruksi sebagai bawa maurip ‘sosok bangunan yang hidup’ (bentuk olah mantra, dan mudra).

Ruang dalam wujud fisik (sekala) juga dihormati secara spirit (niskala) sebagai kekeran ‘batasan keramat’, sebagai kawasan suci (apenyengker, apenimpug, apeneleng). Hal terakhir ini yang sering tidak dipamahi dalam ranah materialistis, sehingga sering diserobot, dilanggar, untuk tujuan komodifikasi semata, padahal sudah diatur dalam bhisama maupun regulasi formal lainnya.

Perjuangan untuk pelestarian ruang-ruang ideal Bali harus terus dilakukan baik dengan pendekatan konservasi, revitalisasi, ataupun reformasi guna mempertahankan eksistensi nilai kekosongan yang bermakna ruang fisik maupun metafisik sebagai landasan kebudayaaan Bali.