I. Pendahuluan
Peristiwa banjir besar yang melanda Bali pada 9–10 September 2025 menjadi titik balik penting dalam penataan ruang dan pengelolaan sumber daya air di Pulau Dewata. Banjir ini tidak sekadar bencana alam, tetapi juga cerminan dari ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi, urbanisasi, dan pelindungan ekosistem air. Dalam konteks ini, Peraturan Gubernur Bali Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut kembali menjadi rujukan normatif dan moral bagi arah kebijakan pembangunan pasca-banjir.
Peraturan ini ditetapkan dengan semangat Nangun Sat Kerthi Loka Bali—menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya. Regulasi ini mengandung visi ekologis, spiritual, dan sosial yang bersumber dari nilai-nilai Sad Kerthi (Atma Kerthi, Segara Kerthi, Danu Kerthi, Wana Kerthi, Jana Kerthi, dan Jagat Kerthi), yang merefleksikan filosofi keberlanjutan khas Bali.
II. Esensi Regulasi Pergub No. 24 Tahun 2020
Peraturan ini menekankan tiga pilar pelindungan sumber daya air:
- Pelindungan Fisik dan Ekologis
Meliputi pengendalian pencemaran, pelestarian vegetasi sempadan, pengawasan terhadap kegiatan industri dan permukiman yang berdampak pada kualitas air, serta rehabilitasi kawasan tangkapan air. - Pelindungan Spiritual dan Kultural
Air dalam konteks Bali bukan sekadar sumber daya fisik, melainkan juga unsur sakral yang digunakan dalam setiap upacara yadnya. Oleh karena itu, Pergub ini mengintegrasikan nilai kesucian air (Tirta) ke dalam kerangka hukum tata ruang dan lingkungan. - Pelindungan Sosial dan Ekonomi Berkelanjutan
Regulasi ini mengatur agar pengelolaan sumber daya air tidak hanya untuk kepentingan ekonomi jangka pendek, tetapi juga untuk keberlanjutan hidup generasi mendatang, melalui partisipasi masyarakat dan kelembagaan adat.
III. Relevansi Pasca-Banjir Bali 2025
Banjir 2025 memperlihatkan lemahnya fungsi lindung dan penurunan daya dukung kawasan air:
- Degradasi daerah tangkapan air di sekitar Danau Batur, Buyan, dan Beratan.
- Alih fungsi sempadan sungai di kawasan perkotaan Denpasar, Badung, dan Gianyar.
- Peningkatan run-off permukaan akibat berkurangnya ruang hijau dan saluran drainase yang tertutup bangunan.
Reaktualisasi Pergub No. 24/2020 menjadi sangat penting untuk:
- Menegakkan kembali fungsi ekologis sempadan sebagai kawasan lindung;
- Mengintegrasikan kebijakan pelindungan air ke dalam RDTR dan PBG/SLF;
- Membangun mekanisme early warning system berbasis data spasial untuk daerah rawan banjir;
- Mengarusutamakan prinsip Zero Run Off dan Green-Blue Infrastructure dalam perencanaan infrastruktur publik.
IV. Implementasi dalam Tata Ruang dan Infrastruktur
Dalam kerangka teknis penataan ruang dan infrastruktur:
- Sempadan Sungai dan Danau harus ditetapkan sebagai zona lindung ekologis dalam RDTR dengan batas minimal sesuai NSPK nasional (PP No. 21 Tahun 2021 dan Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2021).
- Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) wajib memuat peta kawasan resapan air, sempadan, dan zona rawan bencana untuk diintegrasikan dalam izin PBG.
- PBG dan SLF hanya dapat diterbitkan bila pemohon memenuhi Ketentuan Zero Run Off dan menyediakan area retensi.
- Pemanfaatan ruang bawah tanah dan air rights development harus memperhatikan perlindungan aliran air tanah dan keseimbangan ekosistem.
V. Implikasi untuk Bali
- Penataan ulang sistem drainase dan DAS perkotaan (Denpasar–Badung–Gianyar–Tabanan/Sarbagita) berbasis Nature-Based Solutions (NBS) dan eco-hydraulic design.
- Revisi RDTR dan peraturan zonasi untuk memperkuat fungsi sempadan sungai sebagai ruang publik hijau dan jalur evakuasi.
- Sinergi Pergub 24/2020 dengan Perda RTRW Bali No. 2 Tahun 2023 agar seluruh perizinan pembangunan wajib mengacu pada perlindungan sumber daya air.
- Pemberdayaan Desa Adat sebagai custodian pengawasan sumber air dan sempadan sungai, melalui awig-awig dan pararem berbasis Sad Kerthi.
VI. Refleksi untuk Kita Semua
Bencana banjir 2025 menjadi pengingat bahwa kemajuan infrastruktur tanpa harmoni ekologis adalah kemunduran spiritual bagi Bali. Pembangunan bukan sekadar beton dan aspal, melainkan upaya menjaga tirta amerta—air kehidupan yang menopang keseimbangan jagat.
Pergub No. 24 Tahun 2020 bukan hanya regulasi teknis, tetapi manifestasi spiritual dari filosofi “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”.
Kini tugas kita adalah menghidupkan kembali semangat itu dalam setiap desain, kebijakan, dan tindakan sehari-hari—dari merancang drainase hingga menjaga pancoran di desa kita sendiri.
VII. Daftar Pustaka
- Pemerintah Provinsi Bali. (2020). Peraturan Gubernur Bali Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut.
- Pemerintah Republik Indonesia. (2021). Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
- Kementerian ATR/BPN. (2021). Permen ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi.
- Widiastuti, L., & Widnyana, I. (2023). “Integrating Balinese Eco-Spiritual Values in Watershed Management.” Journal of Environmental Design in the Tropics, 7(2), 45–58.
- Supartha, G., et al. (2022). “Cultural-Based Water Governance in Bali: A Tri Hita Karana Approach.” Sustainability Journal, 14(19), 12521.
- Rahmawati, T., & van der Veen, M. (2024). “Urban Flood Resilience through Localized Water Protection Policies in Southeast Asia.” International Journal of Disaster Risk Reduction, 102(3), 103112.
