ABSTRACT
Krisis sampah merupakan salah satu tantangan lingkungan paling mendesak di Bali. Penutupan TPA Suwung yang dijadwalkan pada 23 Desember 2025 menandai titik krusial dalam sistem pengelolaan sampah. Tulisan ini bertujuan menganalisis secara komprehensif kebijakan pengelolaan sampah berbasis sumber di Bali melalui pendekatan Integrated Waste Management (IWM), kerangka hukum nasional, capaian dan disrupsi lapangan, serta potensi konsekuensi pidana bagi pemerintah apabila lalai dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah. Metode penelitian menggunakan studi literatur terhadap regulasi nasional, kebijakan daerah, dan data empiris problematika pengelolaan sampah. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun Bali telah memiliki kerangka regulasi progresif—UU No. 18/2008, PP No. 27/2020, Pergub 97/2018, Pergug 47/2019, dan SE Gubernur No. 9/2025—kelemahan implementasi menyebabkan ketergantungan berlebihan pada TPA, minimnya pemilahan di sumber, serta kelemahan tata kelola lintas lembaga. Diskusi menggarisbawahi urgensi penguatan tata kelola, insentif dan disinsentif, serta inovasi pembiayaan. Refleksi ditutup dengan ajakan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan menuju Bali tanpa sampah sesuai visi keberlanjutan dan pariwisata bermartabat.
Kata kunci: Pengelolaan sampah, Bali, TPA Suwung, tanggung jawab pidana, kebijakan lingkungan, 3R, pengelolaan berbasis sumber.

1. INTRODUCTION
Pengelolaan sampah merupakan isu lingkungan strategis yang berimplikasi terhadap kesehatan masyarakat, estetika wilayah, daya dukung lingkungan, dan daya saing pariwisata (Syafrudin, 2020). Bali sebagai destinasi wisata internasional memiliki tantangan besar dalam mengelola timbulan sampah yang terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan pariwisata. Selama lebih dari 30 tahun, TPA Suwung menjadi penyangga utama sistem persampahan Bali, menerima rata-rata 1.200–1.500 ton sampah per hari. Namun, penutupan TPA Suwung pada 23 Desember 2025 menandai transisi sistemik menuju pengelolaan sampah berbasis sumber.
Kerangka regulasi nasional—UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup—mengatur kewajiban pemerintah daerah mengelola sampah secara aman dan berkelanjutan. Kelalaian dalam pengelolaan sampah dapat menimbulkan sanksi pidana berupa penjara dan denda, terutama apabila menyebabkan pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan, atau korban manusia (Nurhidayati, 2021).
Penelitian ini mengkaji dinamika kebijakan pengelolaan sampah di Bali secara akademik melalui pendekatan IMRAD, dengan penekanan pada risiko hukum dan etik apabila transisi pasca–TPA Suwung tidak dikelola dengan baik. Pertanyaan penelitian diformulasikan sebagai berikut:
- Bagaimana kerangka regulasi pengelolaan sampah Bali dalam perspektif IWM?
- Mengapa implementasi pengelolaan sampah di Bali belum optimal?
- Apa risiko hukum dan pidana bagi pemerintah dan pengelola sampah apabila lalai?
- Apa rekomendasi strategis transisi pasca penutupan TPA Suwung?
2. METHODS
Desain penelitian menggunakan pendekatan kualitatif studi literatur. Sumber data meliputi:
- Peraturan perundang-undangan nasional (UU No. 18/2008; UU No. 32/2009; PP No. 27/2020).
- Kebijakan daerah Bali (Pergub 97/2018; Pergub 47/2019; SE Gubernur 9/2025).
- Buku, jurnal ilmiah, laporan sektor lingkungan, dan studi kasus pengelolaan sampah.
Data dianalisis dengan langkah: (1) klasifikasi tema, (2) analisis gap kebijakan vs implementasi, dan (3) interpretasi dalam perspektif tata kelola lingkungan dan hukum pidana lingkungan.
3. RESULTS
Tiga temuan utama diperoleh:
3.1 Kerangka Kebijakan Bali Dinilai Progresif di Atas Rata-Rata Nasional
Kebijakan Bali mencakup pembatasan plastik sekali pakai, kewajiban pemilahan di sumber, pelarangan air mineral kemasan plastik <1 liter, pengelolaan organik kompos/maggot, dan penegakan sanksi berjenjang. Bali termasuk provinsi pionir dalam penerapan circular economy pada skala daerah (Marseth, 2024).
3.2 Kesenjangan Implementasi Masih Signifikan
Beberapa tantangan utama:
- Kebanyakan sampah masih tercampur sejak di sumber.
- Ketergantungan pada TPA tetap dominan.
- Sistem penegakan, insentif, dan disinsentif belum optimal.
- Kapasitas desa adat dan desa dinas tidak merata.
- Koordinasi lintas lembaga belum terintegrasi dan pendanaan terbatas.
3.3 Ancaman Pidana Menguat saat Penutupan TPA Suwung 2025
UU No. 18/2008 dan UU No. 32/2009 menyatakan bahwa pemerintah dan pengelola sampah dapat dikenai pidana penjara dan denda jika pembiaran atau kelalaian dalam pengelolaan sampah menimbulkan:
- pencemaran lingkungan,
- gangguan kesehatan,
- kerusakan ekologis,
- korban jiwa atau luka berat.
Hal ini menjadi titik kritis ketika TPA Suwung dihentikan beroperasi.
4. DISCUSSION
Keberhasilan sistem persampahan tidak hanya ditentukan oleh regulasi, tetapi oleh governance ecosystem, yaitu interaksi antara pemerintah, masyarakat, sektor swasta, desa adat, sektor pariwisata, dan pelaku ekonomi sirkular (Nugroho & Prabantarikso, 2019). Ketika sistem bergantung pada TPA, penutupan Suwung tanpa kesiapan pengelolaan berbasis sumber akan menimbulkan risiko penumpukan sampah, pencemaran, ketidakpuasan publik, serta potensi liabilitas pidana.
Pembelajaran internasional (Conticelli et al., 2022) menunjukkan bahwa keberhasilan transisi TPA → Zero Waste to Landfill mensyaratkan:
- desentralisasi pengelolaan sampah ke tingkat komunitas,
- dukungan pembiayaan berkelanjutan,
- digitalisasi rantai daur ulang,
- kemitraan industri,
- standar akuntabilitas dan pelaporan publik.
Bali memiliki fondasi sosial yang kuat melalui desa adat. Namun modal sosial hanya efektif bila didukung tata kelola dan insentif yang jelas.
5. CONCLUSION
Penutupan TPA Suwung 23 Desember 2025 merupakan momentum transformasi sejarah sistem persampahan Bali. Kerangka regulasi telah progresif, namun implementasi masih tertinggal. Apabila pengelolaan sampah tidak efektif pasca penutupan TPA, konsekuensi pidana berdasarkan UU 18/2008 dan UU 32/2009 berpotensi muncul. Kesiapan operasional, kelembagaan, pendanaan, dan pelibatan seluruh pemangku kepentingan sangat menentukan keberhasilan.
Rekomendasi utama:
- Mempercepat pemilahan wajib berbasis sumber melalui regulasi desa dan adat.
- Dukungan pendanaan berbasis kinerja (performance-based financing).
- Digitalisasi jejak sampah (waste traceability).
- Kewajiban pelaporan publik (transparency governance).
- Pengembangan waste industrial ecosystem (kompos, maggot, daur ulang, RDF, upcycling).
- Penegakan hukum konsisten—baik penghargaan maupun sanksi.
REFLEKSI — UNTUK KITA SEMUA
Krisis sampah bukanlah semata persoalan teknis, tetapi cermin kedewasaan peradaban. Sampah adalah “jejak perilaku.” Pemerintah, masyarakat, dunia usaha, desa adat, dan sektor pariwisata semuanya adalah bagian dari masalah sekaligus bagian dari solusi. Penutupan TPA Suwung adalah pengingat bahwa kita tidak lagi dapat menyembunyikan sampah di bawah tanah — kita harus mengubahnya menjadi sumber daya. Jalan menuju Bali Bersih Sampah bukan hanya kebijakan atau teknologi, tetapi komitmen moral kolektif untuk generasi mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Conticelli, E., Tondelli, S., & Bianchi, R. (2022). Circular cities and waste governance: Transition from disposal to resource management. Journal of Urban Sustainability, 14(2), 211–230.
Marseth, I. (2024). Local circular economy implementation in Bali Province: Barriers and opportunities. Journal of Environmental Policy, 17(1), 55–69.
Nugroho, A., & Prabantarikso, T. (2019). Governance ecosystem and community participation in solid waste management. Journal of Public Administration, 13(3), 155–168.
Nurhidayati, P. (2021). Environmental law enforcement in waste mismanagement cases under Indonesian regulation. Indonesian Journal of Environmental Law, 5(1), 33–52.
Syafrudin, S. (2020). Integrated municipal solid waste management model for developing regions. Environmental Engineering Review, 32(4), 271–283.
