Dalam budaya Bali, ada dua istilah yang sangat penting: “pura” dan “puri.” Pura adalah tempat pemujaan bagi umat Hindu di Bali, sementara puri adalah tempat kediaman raja. Pura adalah tempat pemujaan para penganut Hindu di Bali. Sementara puri adalah tempat kediaman raja. Namun berdasarkan paparan Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan (I Made Purna et al., 1994) baru sekitar awal abad keduapuluh yang lalu saja kedua terminologi ini menjadi baku. Sebelum itu rupanya terdapat kerancuan peristilahan dalam hal ini.

Created: between 1920 and 1921
Asal Mula Terminologi
Pada awal mula terminologi untuk menyebut tempat pemujaan umat Hindu Bali adalah Ulon, yang berarti tempat suci. Hal ini termuat dalam prasasti Sukawana A I, terbitan tahun 804 aka, yang tersimpan di Pura Bale Agung Desa Sukawana, Kintamani. Untuk kemudian pada masa Kerajaan Badahulu di Pejeng, mulailah menggunakan terminologi Kahyangan, dari akar kata Hyang yang berarti supranatural yang dihormati. Hal ini tampak dalam Prasasti Pura Kehen C dari tahun 1126 Saka, yang diterbitkan oleh Raja Sri Adi Kunti Ketana dari Kerajaan Badahulu itu.
Penggunaan Terminologi “Pura”
Penggunaan istilah “pura” baru muncul untuk merujuk kepada tempat pemujaan umat Hindu di Pulau Bali sekitar abad ke-14 Masehi, terkait dengan pemerintahan Raja Kresna Kapakisan dari Dinasti Dalem, yang berkuasa di Gelgel.
Namun, penting bahwa terminologi “pura” dan “puri” sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta, yang artinya “benteng,” “istana,” atau “kota.” Hal ini menunjukkan pengaruh budaya dan bahasa Sanskerta dalam perkembangan terminologi dalam budaya Bali.
Variasi Terminologi di Berbagai Wilayah
Menariknya, terminologi pura dan puri di berbagai kota di Indonesia dan bahkan Singapura, menunjukkan pengaruh budaya Bali dan terminologi ini di luar Pulau Bali. Selain itu, terminologi “Parahyangan” memiliki makna yang sama di Tatar Sunda di Jawa Barat.

Created: between 1920 and 1921
Dalam pada itu Zoetmulder & Robson (1995 II:882 & 884) menerangkan bahwa baik terminologi pura maupun puri merupakan terminologi dari bahasa Sansekertá, yang berarti benteng, istana, atau kota. Pustaka Usana Bali yang berasal dari abad keenambelas menyebut istana raja dengan terminologi kedaton, sementara tempat pemujaan terkenal sebagai parhyangan.
Babad Buleleng dari abad ketujuhbelas menyebut istana raja sebagai pura, sedangkan tempat tempat pemujaan terkenal sebagai parhyangan. Pustaka Dwijendra Tattwa menyebut tempat pemujaan sebagai puri atau parhyangan, dan istana raja sebagai karaton. Babad Sang Catur amenyebut istana raja sebagai kadatwan, dan tempat suci sebagai .Selanjutnya R. Friederich yang berkunjung ke Bali pada akhir abad kesembilanbelas melaporkan bahwa tempat pemujaan di Bali saat itu dengan sebutan kahyangan, panataran, pararyangan, atau pangastawan.
Dalam budaya Bali, pura adalah tempat suci yang memiliki karakteristik khusus berdasarkan entitas yang mereka persembahkan dan sembahyangkan. Ada dua karakter utama dari pura di Bali:
Karakteristik Pura dalam Budaya Bali: Kahyangan dan Keluarga
1. Pura Kahyangan: Tempat Pemujaan Hyang Widhi
Pura Kahyangan adalah tempat suci untuk memuja Hyang Widhi, bersama dengan segala Prabhawa-Nya (hukum kemahakuasaan-Nya). Di Pura Kahyangan, semua umat Hindu, tanpa membedakan keturunan, suku, atau bangsa, dapat bersembahyang. Pura Kahyangan merupakan tempat universal di mana orang-orang datang bersama-sama untuk beribadah dan menyembah Tuhan dalam bentuk yang paling murni.
2. Pura Keluarga: Tempat Pemujaan Bhatara Leluhur
Pura Keluarga, di sisi lain, adalah tempat suci untuk memuja Bhatara Leluhur, arwah, atau leluhur yang telah suci. Di Pura Keluarga, sembahyang fokus kepada leluhur tertentu dan biasanya anggota keluarga yang memiliki hubungan darah atau kekerabatan dengan leluhur tersebut yang hadir melakukan persembahyangan. Meskipun tidak wajib bagi semua umat Hindu untuk sembahyang di Pura Keluarga, orang lain yang ingin melakukan sembahyang di sana biasanya tidak ada larangan.
Kesimpulan
Terminologi dalam budaya Bali mencerminkan sejarah panjang dan pengaruh berbagai budaya di wilayah tersebut. Pemahaman akan makna “pura” dan “puri” menggambarkan evolusi budaya dan bahasa di Bali. Penggunaan terminologi ini juga memiliki implikasi dalam pemahaman budaya Indonesia yang lebih luas.
Pura dalam budaya Bali memiliki dua karakteristik utama: Pura Kahyangan, yang merupakan tempat universal untuk memuja Tuhan, dan Pura Keluarga, yang berfungsi untuk memuja leluhur tertentu. Kedua jenis pura memiliki peran penting dalam kehidupan spiritual masyarakat Bali dan mencerminkan nilai-nilai kesatuan dan keluarga dalam agama Hindu.