1. Pendahuluan
Konsep Sanga Mandala merupakan hasil penggabungan antara dua konsep utama, yaitu sumbu bumi (Kaja-Kelod) dan sumbu ritual. Sebagai tambahan, konsep ini berarti sembilan manifestasi Tuhan. Manifestasi ini terkenal sebagai Dewata Nawa Sanga. Manifestasi ini tersebar di delapan arah mata angin. Satu manifestasi berada di tengah.

Dalam konteks arsitektur tradisional Bali, Sanga Mandala berfungsi untuk menentukan penzoningan area bangunan. Sebagai contoh, dalam skala perumahan atau desa, konsep ini menempatkan kegiatan yang bersifat suci di daerah utamaning utama (kaja-kangin). Contohnya adalah Pura Desa. Di sisi lain, Pura Dalem dan kuburan berada pada daerah nisthaning nista (klod-kauh), sementara permukiman berada di daerah madya. Hal ini sangat terlihat pada perumahan yang memiliki pola Perempatan (Catus Patha).
Selain itu, Anindya (1991:34) dalam lingkup desa, menguraikan bahwa konsep Tri Mandala juga mengklasifikasikan kegiatan berdasarkan sifatnya. Penerapan konsep ini tercermin pada perumahan yang memiliki pola linier.
Lebih lanjut, berbagai variasi dalam pola tata ruang rumah dan perumahan di Bali muncul karena adanya Tri Pramana, yang berfungsi sebagai landasan taktis operasional. Konsep ini terkenal dengan Desa-Kala-Patra (tempat, waktu, dan keadaan) serta Desa-Mawa-Cara. Ini menunjukkan adanya fleksibilitas. Namun tetap terarah pada landasan filosofinya. Variasi ini merupakan keragaman pola desa-desa di Bali.
Selain itu, perumahan tradisional Bali juga mempertimbangkan konteks kehidupan pribadi dan masyarakat, serta pantangan-pantangan tertentu. Sebagai contoh, dimensi pekarangan dan proporsi bangunan menggunakan ukuran bagian tubuh penghuni atau kepala keluarga, seperti tangan dan kaki. Sebagai tambahan, dasar pengukuran letak bangunan dalam pekarangan memakai telapak kaki. Perhitungan ini menggunakan hitungan Asta Wara (Sri, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala, Uma). Ini sesuai dengan pengurip (Adhika, 1994:25).
2. Konsep Sanga Mandala
2.1. Pengertian dan Asal Usul
Sanga Mandala berasal dari pemikiran kosmologis Bali yang menggabungkan sumbu bumi (Kaja-Kelod) dengan sumbu ritual. Konsep ini berhubungan erat dengan sembilan manifestasi Tuhan, atau Dewata Nawa Sanga, yang berada di delapan arah mata angin serta satu titik pusat. Konsep ini membagi tata ruang berdasarkan fungsi dan sifat kegiatan yang berlangsung di setiap zona.
2.2. Implementasi dalam Arsitektur Tradisional
Dalam perumahan tradisional Bali, konsep Sanga Mandala terimplementasikan dengan cara yang sangat terstruktur:
- Daerah Utamaning Utama (Kaja-Kangin): Di sini kegiatan yang bersifat suci, seperti Pura Desa. Daerah ini adalah pusat dari semua kegiatan ritual dan spiritual, sebagai lokasi yang paling murni dan dihormati.
- Daerah Madya: Merupakan area yang berfungsi untuk kegiatan sehari-hari, termasuk permukiman. Area ini berada di antara zona suci dan zona kotor, mencerminkan keseimbangan antara aktivitas spiritual dan kehidupan sosial.
- Daerah Nisthaning Nista (Klod-Kauh): Zona ini dikhususkan untuk kegiatan yang kurang suci atau kotor, seperti Pura Dalem dan kuburan. Daerah ini berada di bagian yang lebih rendah atau jauh dari pusat. Ini mengindikasikan bahwa kegiatan di sini kurang murni dibandingkan dengan aktivitas di daerah utama.
3. Perbandingan dengan Konsep Tri Mandala
Tri Mandala, seperti yang diuraikan oleh Anindya (1991), memberikan pendekatan serupa namun dengan fokus yang sedikit berbeda. Dalam Tri Mandala:
- Daerah Utama: Menempatkan kegiatan sakral.
- Daerah Madya: Memfokuskan pada kegiatan keduniawian, sosial, ekonomi, dan perumahan.
- Daerah Nista: Mengakomodasi kegiatan yang dianggap kotor atau mengandung limbah.
Pola ini sering terlihat dalam perumahan dengan pola linier, berbanding terbalik dengan pola Catus Patha yang mengikuti konsep Sanga Mandala.

4. Prinsip-prinsip Tata Ruang dalam Arsitektur Bali
Beberapa prinsip dasar tata ruang dalam arsitektur tradisional Bali meliputi:
- Keseimbangan Kosmologis (Tri Hita Karana): Mengintegrasikan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan dalam desain tata ruang.
- Hirarkhi Tata Nilai (Tri Angga): Mengatur ruang berdasarkan hirarki nilai dan fungsi.
- Orientasi Kosmologis (Sanga Mandala): Mengatur tata ruang berdasarkan manifestasi kosmologis dan ritual.
- Konsep Ruang Terbuka (Natah): Memastikan adanya ruang terbuka dalam desain untuk keperluan sosial dan ritual.
- Proporsi dan Skala: Menjaga proporsi yang sesuai antara elemen arsitektural dan ruang.
- Kronologis dan Prosesi Pembangunan: Mengikuti urutan dan proses yang sesuai dengan tradisi.
- Kejujuran Struktur (Clarity of Structure): Menjaga kejelasan struktur bangunan.
- Kejujuran Pemakaian Material (Truth of Material): Menggunakan material sesuai dengan fungsi dan estetika.
5. Variasi dan Fleksibilitas
Variasi dalam pola tata ruang rumah dan perumahan di Bali disebabkan oleh Tri Pramana. Ini meliputi Desa-Kala-Patra (tempat, waktu, keadaan) dan Desa-Mawa-Cara (fleksibilitas yang tetap terarah pada filosofi). Ini mencerminkan keragaman pola desa-desa di Bali dan menyesuaikan dengan kondisi lokal dan kebutuhan masyarakat.
6. Konteks Kehidupan dan Pantangan
Dalam konteks pribadi dan masyarakat, dimensi pekarangan dan proporsi bangunan sering kali berdasarkan pada ukuran bagian tubuh penghuni, seperti tangan dan kaki. Pengukuran letak bangunan dalam pekarangan menggunakan sistem Asta Wara (Sri, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala, Uma). Sistem ini ditambah dengan pengurip. Ini mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dan praktis dalam desain arsitektur.

7. Kesimpulan
Konsep Sanga Mandala merupakan fondasi penting dalam arsitektur tradisional Bali, mengintegrasikan aspek kosmologis, spiritual, dan fungsional dalam tata ruang. Dengan memadukan prinsip-prinsip ini, masyarakat Bali menciptakan lingkungan yang harmonis dan teratur, yang mencerminkan keseimbangan antara kehidupan duniawi dan spiritual. Pemahaman terhadap konsep ini membantu menjaga keutuhan dan keindahan arsitektur Bali. Konsep ini juga memelihara tradisi dan budaya yang telah ada sejak lama.