1. Pendahuluan
Intensitas pemanfaatan ruang merupakan parameter utama dalam peraturan zonasi (PZ) yang mengatur seberapa padat suatu zona dapat dibangun.
Ketentuan ini berfungsi untuk menjaga keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang terbuka, serta menjamin bahwa pembangunan berlangsung sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Dalam konteks Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), intensitas pemanfaatan ruang menjadi bagian penting dari aturan dasar pemanfaatan ruang, yang bersifat mengikat (regulatory) dan menjadi dasar penilaian kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR).
Tujuan utama ketentuan ini adalah untuk:
- mengendalikan kepadatan dan intensitas pembangunan di tiap zona,
- menjamin ketersediaan ruang hijau dan sistem resapan air, serta
- menciptakan keteraturan tata ruang kota yang adaptif terhadap risiko lingkungan dan perubahan iklim.
2. Komponen Utama Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang
a) Koefisien Dasar Bangunan (KDB) Maksimum
KDB adalah perbandingan antara luas lantai dasar bangunan dengan luas kavling (persil), yang dinyatakan dalam persentase (%).
KDB menggambarkan tingkat kepadatan horizontal suatu kawasan dan menjadi indikator sejauh mana lahan tertutup oleh bangunan.
Penetapan KDB mempertimbangkan:
- kemampuan peresapan air tanah,
- kapasitas sistem drainase,
- serta jenis dan fungsi penggunaan lahan.
Contoh: Zona permukiman dengan KDB maksimum 60% berarti maksimal hanya 60% dari luas lahan yang boleh ditutup bangunan, sementara sisanya (40%) harus tetap terbuka atau hijau.
b) Koefisien Lantai Bangunan (KLB) Minimum dan Maksimum
KLB menunjukkan perbandingan antara total luas seluruh lantai bangunan dengan luas lahan.
KLB merepresentasikan kepadatan vertikal dan sering dikaitkan dengan efisiensi ruang kota.
Penetapan KLB memperhitungkan:
- harga lahan dan potensi ekonomi kawasan,
- kapasitas prasarana (air, listrik, jalan, dan drainase),
- serta dampak terhadap lingkungan dan kualitas hidup warga.
Contoh:
Zona perdagangan dengan KLB maksimum 5, berarti total luas lantai seluruh bangunan tidak boleh melebihi 5 kali luas kavling.
Jika luas kavling 1.000 m², maka total luas bangunan maksimal adalah 5.000 m².
c) Koefisien Dasar Hijau (KDH) Minimal
KDH adalah perbandingan antara luas lahan hijau (tanah terbuka untuk resapan air, taman, dan vegetasi) terhadap total luas kavling.
Tujuan penetapan KDH:
- mempertahankan fungsi ekologis kawasan,
- mengendalikan limpasan air permukaan (run-off),
- serta memperbaiki kualitas udara dan mikroklimat.
KDH ditetapkan berdasarkan:
- kondisi hidrologi dan kapasitas drainase,
- tingkat urbanisasi dan suhu mikro,
- serta kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik dan privat.
Contoh: Zona perumahan dengan KDH minimal 20% berarti dari 1000 m² lahan, minimal 200 m² harus dijaga sebagai area hijau terbuka.
d) Luas Kavling Minimum
Luas kavling minimum ditetapkan untuk menjaga keteraturan pola pembangunan dan kesehatan lingkungan permukiman.
Penentuan luas kavling dilakukan melalui kesepakatan antara pemerintah daerah kabupaten/kota dengan kantor pertanahan setempat, memperhatikan ketersediaan infrastruktur dasar dan karakter lingkungan.
Contoh: Zona perumahan menengah mungkin mensyaratkan kavling minimal 120 m², sementara zona padat perkotaan dapat 72 m² dengan kompensasi KDH dan KLB tertentu.
e) Koefisien Tapak Basement (KTB) Maksimum
KTB adalah persentase luas tapak bangunan bawah tanah (basement) terhadap total luas lahan.
Penetapan KTB memperhatikan KDH, sistem drainase, dan stabilitas tanah.
Contoh: Pada zona komersial di kawasan padat (Kuta atau Denpasar), KTB maksimum 60% berarti ruang bawah tanah hanya boleh menempati 60% dari total lahan.
f) Koefisien Wilayah Terbangun (KWT) Maksimum
KWT adalah perbandingan antara luas wilayah terbangun terhadap total luas wilayah perencanaan (misalnya satu kecamatan atau sub-wilayah kota).
Tujuannya adalah mengendalikan rasio permukaan kedap air dan mempertahankan area buffer ekologis.
KWT mempertimbangkan:
- Tingkat peresapan air tanah,
- Jenis penggunaan lahan, dan
- Kebutuhan buffer zone (penyangga lingkungan).
3. Ketentuan Kepadatan Bangunan / Unit Maksimum
Selain parameter KDB, KLB, dan KDH, RDTR juga dapat menetapkan batas kepadatan bangunan atau unit hunian maksimum.
Tujuan pengaturannya adalah untuk:
- menjaga sirkulasi udara dan cahaya alami,
- menjamin ruang sosial antarbangunan,
- serta melindungi kualitas hidup masyarakat dari dampak kepadatan berlebih.
Penetapan kepadatan mempertimbangkan aspek:
- Kesehatan: ketersediaan air bersih, sanitasi, pencahayaan, dan ventilasi,
- Sosial: privasi, jarak terhadap fasilitas umum, ruang terbuka sosial,
- Teknis: risiko kebakaran, stabilitas tanah, akses evakuasi,
- Ekonomi: biaya penyediaan prasarana dan pelayanan publik.
4. Prinsip Perumusan Ketentuan Intensitas
Perumusan ketentuan intensitas pemanfaatan ruang dilakukan berdasarkan:
- Ketentuan kegiatan dalam zona (ITBX),
- Peraturan perundang-undangan bangunan gedung (UU No. 28 Tahun 2002 dan turunannya),
- Arahan dalam RTRW kabupaten/kota, dan
- Hasil kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Intensitas pemanfaatan ruang pada RDTR harus konsisten dengan RTRW, namun dapat lebih rinci sesuai kondisi lokal.
Apabila diperlukan, detail intensitas dapat dijabarkan lebih lanjut dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
5. Implikasi untuk Provinsi Bali
a. Pengendalian Pertumbuhan Vertikal dan Horizontal
Kawasan Sarbagita (Denpasar–Badung–Gianyar–Tabanan) menghadapi tekanan urbanisasi tinggi.
Dengan menerapkan KDB dan KLB secara ketat, pemerintah dapat mengarahkan pertumbuhan ke arah kepadatan efisien vertikal, tanpa mengorbankan fungsi ekologis.
b. Revitalisasi Kawasan Resapan dan Hijau
Penerapan KDH minimal 30% di wilayah utara Denpasar dan Badung dapat menjadi strategi penting untuk mengembalikan kapasitas resapan air, mengurangi banjir genangan perkotaan.
c. Zonasi Adaptif Berbasis Risiko
Kawasan yang rawan banjir atau longsor (misalnya di Tabanan Utara, Bangli, atau Karangasem) harus diberi KDB rendah dan KDH tinggi, serta pembatasan KLB untuk mengurangi tekanan bangunan terhadap lereng.
d. Penerapan Prinsip Tri Hita Karana
Intensitas ruang di Bali tidak hanya soal teknis, tetapi juga etika ruang.
Pembangunan padat tanpa memperhatikan keseimbangan Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan berarti mengabaikan roh dari penataan ruang Bali itu sendiri.
6. Refleksi: Dari Angka ke Nilai
Angka-angka KDB, KLB, dan KDH sering kali dianggap sekadar data teknis.
Namun, di Bali, angka-angka itu sejatinya adalah simbol keseimbangan antara manusia dan alam.
Bila KDH dikorbankan demi KLB tinggi, maka yang hilang bukan sekadar ruang hijau—melainkan napas kehidupan itu sendiri.
Refleksi ini penting di tengah cepatnya urbanisasi Bali:
apakah kita sedang membangun kota yang efisien, atau justru kehilangan jati diri ekologis dan spiritualnya?
Pengendalian intensitas ruang bukan untuk membatasi pembangunan, tetapi mengembalikan harmoni antara pembangunan, lingkungan, dan kebudayaan.
Daftar Pustaka
- Kementerian ATR/BPN. (2021). Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi RTRW dan RDTR.
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
- Kementerian PUPR. (2007). Permen PU No. 20/PRT/M/2007 tentang Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan.
- Bappeda Provinsi Bali. (2024). Dokumen Rencana Detail Tata Ruang Digital Wilayah Sarbagita.
- Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang RTRW Provinsi Bali 2023–2043.
- FAO (1976). A Framework for Land Evaluation.
