Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah secara akademis, yuridis, sosiologis, dan filosofis mengenai Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) di Provinsi Bali, sebagaimana diatur secara rinci dalam Pasal 33 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang RTRW Bali 2023–2043. KPS mencakup dua kategori utama: Kawasan Kearifan Lokal (Kawasan Suci dan Tempat Suci) dan Kawasan Sempadan (Pantai, Sungai, Danau, Mata Air, Jurang). Metode yang digunakan adalah studi hukum normatif dengan pendekatan multi-disiplin. Hasil telaah menunjukkan bahwa KPS adalah instrumen regulasi yang unik di Indonesia, yang secara yuridis berfungsi sebagai Zona Konservasi Budaya dan Ekologis Mutlak dalam tata ruang, yang harus diprioritaskan di atas kepentingan pembangunan. Secara filosofis, KPS adalah perwujudan preskriptif dari Tri Hita Karana—mengamankan Parahyangan (kesucian pura dan gunung) dan Palemahan (kesucian dan fungsi alami sempadan air). Secara sosiologis, ketentuan ini menjamin akses publik dan kelestarian fungsi ruang untuk Upacara Adat, Interaksi Sosial, dan Ekonomi Masyarakat Lokal (seperti nelayan tradisional), yang selama ini terancam oleh privatisasi dan alih fungsi lahan. Penegasan KPS dalam RTRW Provinsi wajib menjadi kerangka pengikat mutlak bagi RDTR Kabupaten/Kota.
Kata Kunci: Kawasan Perlindungan Setempat, Perda Bali 2/2023, Kearifan Lokal, Sempadan, Tri Hita Karana, Upacara Adat.
Pendahuluan
Tata ruang di Provinsi Bali diatur oleh filosofi fundamental Tri Hita Karana (hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam). Prinsip ini menuntut adanya prioritas pelestarian lingkungan dan spiritualitas di atas eksploitasi ekonomi. Dalam kerangka hukum penataan ruang, filosofi ini dikonkretkan melalui penetapan Kawasan Perlindungan Setempat (KPS).
KPS didefinisikan sebagai kawasan yang diperuntukkan bagi pemanfaatan lahan yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, bertujuan melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari, serta menjaga kelestarian tata air dan ketertiban.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 (RTRW Bali 2023–2043) secara eksplisit mengatur KPS dalam Pasal 33, menjadikannya kerangka pengikat wajib bagi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di tingkat Kabupaten/Kota. Pasal ini secara tegas mengkategorikan KPS menjadi: (1) Kawasan Kearifan Lokal (Suci dan Tempat Suci), dan (2) Kawasan Sempadan (Pantai, Sungai, Danau, Mata Air, Jurang).
Urgensi penelitian ini terletak pada maraknya konflik ruang di Bali, di mana kawasan sempadan dan tempat suci sering terancam oleh pembangunan pariwisata yang masif (Udayana, 2016). Penelitian ini bertujuan menganalisis KPS dari empat dimensi: yuridis (kekuatan hukum), sosiologis (dampak pada masyarakat), dan filosofis (koherensi dengan kearifan lokal).
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif (Normative Legal Research) dengan pendekatan multi-disipliner:
- Pendekatan Yuridis (Statute Approach): Menganalisis Pasal 33 Perda Bali No. 2/2023, Pergub Bali No. 24 Tahun 2020 (jika relevan dengan pelaksanaan) dan UU No. 15/2023 untuk menentukan kekuatan mengikat KPS sebagai norma tata ruang.
- Pendekatan Filosofis (Conceptual Approach): Mengkaji konsep KPS dalam kaitannya dengan Tri Hita Karana, Sad Kerthi (terutama Segara Kerthi dan Wana Kerthi), dan Asta Kosala Kosali (Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, 2008).
- Pendekatan Sosiologis-Ekonomi: Menganalisis implikasi KPS terhadap jaminan ruang kolektif bagi Upacara Adat, Interaksi Sosial, dan Ekonomi Masyarakat Lokal (nelayan, pertanian tradisional).
Data utama adalah teks Pasal 33 Perda Bali No. 2/2023 yang dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Hasil Penelitian
Pasal 33 Perda Bali No. 2 Tahun 2023 menetapkan klasifikasi KPS sebagai berikut:
A. Kawasan Kearifan Lokal (Pasal 33 ayat 2-6)
Kawasan ini secara spesifik berorientasi pada nilai-nilai spiritual dan adat:
| Kategori | Cakupan Ruang | Fungsi Utama |
| Kawasan Suci | Gunung (lereng kaki ke puncak), Danau (Batur, Beratan, Buyan, Tamblingan), Campuhan (pertemuan sungai), Pantai Suci (untuk Melasti), Laut Suci, Mata Air Suci. | Pelindungan Mutlak fungsi spiritual dan ritual (Parahyangan). |
| Kawasan Tempat Suci | Pura Kahyangan Jagat (Sad Kahyangan, Dang Kahyangan), Pura Kahyangan Desa, Pura lainnya. | Pelindungan Kawasan Sekitar Pura (radius tertentu) untuk menjaga kesakralan. |
| Catatan: Kawasan Tempat Suci Pura Kahyangan Jagat mencakup luas $\approx 8.330 \text{ ha}$. |
B. Kawasan Sempadan (Pasal 33 ayat 7-8)
Kawasan ini berorientasi pada fungsi ekologis dan mitigasi bencana, yang diatur lebih lanjut dalam RTRW/RDTR Kabupaten/Kota:
- Sempadan: Pantai, Sungai, Danau/Waduk, Mata Air, Jurang.
- Fungsi: Menjaga kelestarian tata air, mencegah bencana (abrasi, erosi), dan menjamin akses publik/alam.
Pembahasan
A. Analisis Yuridis: KPS sebagai Zona Konservasi Berjenjang
Pasal 33 Perda Provinsi No. 2/2023 memiliki kekuatan yuridis sebagai Norma Pengikat Tertinggi di tingkat daerah.
- Mandat Vertikal: Ayat (8) menyatakan bahwa Kawasan sempadan diatur lebih lanjut pada RTRW Kabupaten/Kota dan RDTR Kabupaten/Kota. Ini berarti penetapan batas numerik (misalnya Sempadan Pantai 50m atau Sempadan Sungai 10-50m) adalah kewajiban teknis yang harus dipenuhi oleh level perencanaan di bawahnya, dan tidak boleh dikurangi.
- Kekuatan Supremasi Adat: Penempatan Kawasan Kearifan Lokal (Suci/Tempat Suci) sebagai kategori utama KPS memberikan legitimasi hukum pada tata ruang berbasis budaya. Ini adalah instrumen untuk melawan liberalisasi lahan, karena fungsi sakral secara yuridis harus diprioritaskan di atas Koefisien Lantai Bangunan (KLB) atau Koefisien Dasar Bangunan (KDB).
B. Analisis Filosofis: Perwujudan Tri Hita Karana dalam Tata Ruang
KPS adalah perwujudan konkret filosofi Bali dalam bentuk peta ruang:
- Parahyangan (Hubungan dengan Tuhan): Diwujudkan melalui Kawasan Suci dan Tempat Suci (Gunung, Danau, Pura). Ruang-ruang ini adalah manifestasi Parahyangan yang harus bebas dari gangguan fisik (bangunan) dan spiritual (pencemaran), yang tercermin pada Pergub Bali No. 24/2020 tentang pelestarian budaya.
- Palemahan (Hubungan dengan Alam): Diwujudkan melalui Kawasan Sempadan (Pantai, Sungai, Jurang). Pelindungan Sempadan air menjaga fungsi hidrologi alami, mencegah abrasi, dan mempertahankan vegetasi, yang merupakan esensi dari Wana Kerthi (pemuliaan hutan/tumbuhan) dan Segara Kerthi (pemuliaan laut).
- Pawongan (Hubungan Sesama Manusia): KPS, terutama Sempadan Pantai dan Sempadan Sungai, berfungsi sebagai ruang bersama (commons). Pelindungan ini secara tidak langsung menjamin Akses Publik yang esensial untuk interaksi sosial dan upacara adat, mencegah privatisasi oleh segelintir pihak (Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, 2008).
C. Analisis Sosiologis dan Ekonomi Lokal
Pelindungan KPS memiliki dampak sosiologis-ekonomi yang signifikan bagi masyarakat lokal:
- Jaminan Upacara Adat dan Spiritual: Penetapan Kawasan Suci Pantai, Laut, dan Mata Air secara eksplisit menjamin kelangsungan ritual seperti Melasti atau pengambilan air suci (Tirta). Ini mengikat Pemerintah Adat dan Dinas untuk bekerja sama dalam pengelolaan dan pembersihan kawasan.
- Penyangga Ekonomi Tradisional: Sempadan Pantai dan Perairan Pesisir yang dilindungi menjadi ruang vital bagi Ekonomi Masyarakat Lokal (misalnya, nelayan tradisional untuk tempat berlabuh dan menjemur jaring, atau petani subak untuk akses air dari Mata Air/Sungai). Pembatasan bangunan komersial di Sempadan Sungai/Pantai secara efektif memprioritaskan kegiatan subsisten dan berbasis budaya di atas kegiatan kapitalistik skala besar.
- Penguatan Identitas Lokal: Pelindungan KPS memperkuat peran Desa Adat sebagai pemangku kepentingan utama dalam tata kelola ruang, mengembalikan kontrol kolektif atas ruang-ruang sakral dan komunal.
Kesimpulan
Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) yang dikodifikasi dalam Pasal 33 Perda Bali No. 2 Tahun 2023 adalah instrumen tata ruang yang paling komprehensif dan fundamental di Bali, yang berhasil mengintegrasikan dimensi yuridis, filosofis, sosiologis, dan ekologis. KPS, yang terbagi atas Kawasan Kearifan Lokal dan Kawasan Sempadan, berfungsi sebagai Zona Konservasi Budaya dan Alam Mutlak yang harus diutamakan di atas kepentingan pembangunan. Secara mendasar, KPS adalah perwujudan preskriptif dari Tri Hita Karana, menjamin kelangsungan Upacara Adat dan memberikan ruang bagi Ekonomi Masyarakat Lokal serta Interaksi Sosial dengan cara yang lestari. Implementasi KPS yang konsisten pada tingkat RDTR adalah kunci untuk mewujudkan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali.
Refleksi untuk Kita Semua/Pemangku Kepentingan
Pasal 33 Perda Bali No. 2/2023 adalah tonggak sejarah dalam perencanaan tata ruang yang berakar pada kearifan lokal. Namun, kekuatan regulasi hanya sebatas kekuatan penegakannya:
- Untuk Pemerintah (Regulator Tata Ruang & Penegak Hukum): Pasal 33 adalah mandat konstitusional daerah. Jangan biarkan ketentuan KPS, terutama Sempadan, diencerkan dalam RDTR Kabupaten/Kota. Sempadan Pantai dan Sungai harus diperlakukan sebagai Zona Nol Bangunan Permanen (kecuali fasilitas publik esensial). Gunakan kekuatan yuridis Pasal 33 untuk menertibkan bangunan yang sudah berdiri di Kawasan Suci dan Sempadan demi kepentingan publik dan adat.
- Untuk Investor dan Pengembang: Pembangunan di Bali harus dilihat sebagai investasi budaya dan spiritual. Kawasan Perlindungan Setempat bukanlah lahan yang dapat dibeli atau dikonversi. Merusak Sempadan Sungai, misalnya, berarti merusak tata air untuk seluruh Subak. Hormati batas Kawasan Tempat Suci (Pura) dan Kawasan Suci (Danau/Gunung). Kepatuhan terhadap KPS adalah prasyarat etis untuk berbisnis di Bali.
- Untuk Masyarakat Adat dan Lokal: adalah penjaga terakhir KPS. Manfaatkan Perda ini sebagai dasar hukum untuk melindungi kawasan Campuhan, Mata Air, dan Pantai Suci dari pencemaran dan privatisasi. Kawasan Sempadan adalah aset kolektif Anda; jangan diam ketika kawasan ini dialihfungsikan. Pertahankan hak Anda atas ruang untuk Melasti , kegiatan nelayan tradisional dan kegiatan berbasis kearifan lokal lainnya.
Daftar Pustaka
Ngakan Ketut Acwin Dwijendra. (2008). Arsitektur Rumah Tradisional Bali, Berdasarkan Asta Kosala Kosali. Udayana University Press.
Pemerintah Provinsi Bali. (2023). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2023–2043. Denpasar: Sekretariat Daerah.
Pemerintah Provinsi Bali. (2020). Peraturan Gubernur Bali Nomor 24 Tahun 2020 tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut. Denpasar: Sekretariat Daerah.
Udayana. (2016). Pengaturan Hukum Terhadap Privatisasi Sempadan Pantai oleh Pengusaha Pariwisata di Provinsi Bali. Analisis Pariwisata, 16(1), 44–58.
Widhiasmara, I. W. (2024). Implementasi Filosofi Tri Hita Karana dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Bali. Jurnal Hukum Lingkungan, 10(1), 1-20.
