Telaahan Kebijakan: Membangun Bali yang Berkelanjutan dan Berbasis Kearifan Lokal Pasca-Banjir 10 September 2025

1. Latar Belakang

Peristiwa banjir besar yang melanda kawasan Sarbagita (Denpasar–Badung–Gianyar–Tabanan) pada 10 September 2025 menjadi peringatan serius bagi arah pembangunan Bali.
Banjir kali ini berbeda: bukan lagi akibat curah hujan ekstrem di hulu, melainkan akumulasi kegagalan tata ruang dan degradasi sistem drainase perkotaan di wilayah padat penduduk.

Alih fungsi lahan resapan, pembangunan vertikal tanpa sistem pengelolaan air yang memadai, serta hilangnya keseimbangan ekologis antara palemahan (alam), pawongan (manusia), dan parahyangan (spiritualitas), telah melemahkan daya lenting Bali terhadap bencana hidrometeorologi.

Krisis ini menegaskan perlunya arah baru pembangunan Bali yang:

  1. Berbasis kearifan lokal dan filosofi Tri Hita Karana;
  2. Mengadopsi prinsip tata bangunan berkelanjutan dan adaptif terhadap iklim;
  3. Dilandasi tata kelola ruang yang terintegrasi dengan mitigasi risiko bencana.

2. Pembelajaran dari Pergub DKI Jakarta Nomor 20 Tahun 2024

Pergub DKI Jakarta No. 20 Tahun 2024 tentang Ketentuan Tata Bangunan merupakan salah satu regulasi tata ruang paling progresif di Indonesia yang mengintegrasikan antara urban design, sustainability, dan resilience planning.
Pergub ini memuat beberapa prinsip penting yang dapat diadopsi secara kontekstual di Bali, yakni:

a. Pengaturan Tata Letak dan Orientasi Bangunan

  • Penempatan bangunan wajib memperhatikan arah angin, orientasi matahari, dan topografi.
  • Pembangunan harus menjaga koridor udara alami serta menghindari gangguan terhadap aliran air permukaan.

🟢 Implikasi untuk Bali:
Di kawasan Denpasar–Badung, bangunan di daerah rendah (misal Ubung, Pemogan, Sesetan) perlu mengikuti prinsip “aliran alami” dengan setback drainase dan elevasi lantai dasar minimum berdasarkan peta banjir aktual.
Arsitektur tradisional Bali, dengan natah (halaman tengah) dan pelataran terbuka, sudah mengandung prinsip ventilasi dan peresapan alami — ini perlu direvitalisasi dalam panduan arsitektur modern Bali.


b. Ketentuan Intensitas dan Ketinggian Bangunan

  • Penetapan Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dan ketinggian maksimum disesuaikan dengan kapasitas lingkungan dan daya dukung infrastruktur.
  • Mendorong pembangunan vertikal yang efisien tetapi tetap ramah air dan energi.

🟢 Implikasi untuk Bali:
Bali perlu menyesuaikan KDB–KLB sesuai zona risiko.
Contoh: di kawasan pesisir (Sanur, Nusa Dua, Kuta), KDB maksimal 50% dan KDH minimal 30% wajib diterapkan untuk menambah area infiltrasi air hujan.
Bangunan tinggi di kawasan wisata harus mengikuti “konsep skyline Bali” — ketinggian tidak melebihi pohon kelapa atau pura tertinggi di sekitarnya — sebagai penghormatan terhadap nilai parahyangan.


c. Pemanfaatan Ruang di Bawah Tanah dan di Atas Air

Pergub DKI membuka ruang bagi penggunaan bawah tanah (basement, utilitas, MRT, parkir) dan atas air (dermaga, ponton, taman terapung) dengan regulasi khusus.

🟢 Implikasi untuk Bali:
Di Denpasar dan Kuta, ruang bawah tanah dapat dioptimalkan untuk tampungan air hujan (rain harvesting chamber) dan parkir terintegrasi tanpa menambah permukaan kedap air.
Di kawasan perairan Sanur dan Benoa, konsep “floating cultural waterfront” dapat dikembangkan dengan tetap menjaga kualitas laut dan nilai kesucian segara kerthi.


d. Indeks Hijau Biru (Green-Blue Index / GBI)

Pergub DKI memperkenalkan Indeks Hijau Biru sebagai indikator wajib setiap bangunan untuk menilai keseimbangan antara area hijau (vegetasi, taman, RTH) dan area biru (kolam retensi, biopori, drainase alami).

🟢 Implikasi untuk Bali:
Indeks Hijau Biru dapat diterjemahkan menjadi Indeks Tri Hita Karana Ruang (THK-R), yang mengukur:

  • proporsi area hijau terhadap total lahan (palemahan),
  • harmoni sosial dalam desain ruang publik (pawongan), dan
  • keberlanjutan spiritual lingkungan sekitar (parahyangan).

Ini sejalan dengan Perda Provinsi Bali No. 2 Tahun 2023 tentang RTRW yang menekankan keseimbangan ekologis dan spiritual dalam penataan ruang.


3. Strategi Penerapan di Bali: Dari Regulasi ke Aksi

Agar Bali dapat mengadopsi nilai substantif dari Pergub DKI No. 20/2024 secara kontekstual, diperlukan kebijakan integratif lintas sektor, antara lain:

No Strategi Aksi Penjelasan
1 Revisi RDTR dan RTBL dengan parameter hijau-biru Menetapkan KDH minimal 30% di zona padat, mewajibkan rain garden, green roof, dan bioretention pond.
2 Penerbitan Pergub Bali tentang Tata Bangunan dan Arsitektur Lokal Berkelanjutan Mengatur tata letak bangunan, ventilasi alami, bahan lokal (batu padas, bambu, bata merah), dan ketinggian maksimum.
3 Penerapan Green-Blue Index berbasis Tri Hita Karana Integrasi indikator hijau-biru dengan prinsip palemahan–pawongan–parahyangan.
4 Insentif untuk bangunan berkelanjutan Keringanan retribusi IMB/PKKPR bagi bangunan yang memiliki sumur resapan, panel surya, dan RTH lebih dari 30%.
5 Kolaborasi riset dan pendidikan arsitektur Bali Melibatkan Unmas, UNUD, dan IAI Bali dalam pengembangan panduan Arsitektur Bali Hijau (Green Balinese Architecture).

4. Refleksi: “Bali, Jangan Kehilangan Wajahnya”

Banjir 10 September 2025 tidak sekadar bencana hidrometeorologi, melainkan krisis identitas tata ruang.
Ketika sawah Subak berubah menjadi beton, ketika aliran sungai berubah menjadi saluran air sempit, dan ketika halaman natah diganti parkiran, maka bukan hanya air yang kehilangan jalan — manusia pun kehilangan arah.

Arsitektur Bali sejatinya sudah mengandung solusi ekologis:

  • sistem hierarki ruang yang menjaga harmoni,
  • material lokal yang bernafas,
  • dan konsep Tri Mandala yang menyeimbangkan fungsi spiritual, sosial, dan alamiah.

Kini saatnya Bali memodernkan tradisi, bukan meninggalkannya.
Dengan mengadopsi prinsip smart, green, and sacred urbanism, Bali dapat menjadi laboratorium dunia untuk arsitektur tropis berjiwa budaya.


5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Pembangunan Bali pasca-banjir 2025 harus bergerak ke arah:

  1. Integrasi antara tata ruang, tata bangunan, dan mitigasi bencana;
  2. Penguatan nilai-nilai lokal Arsitektur Bali sebagai basis desain berkelanjutan;
  3. Penerapan indeks hijau biru berbasis kearifan lokal (Indeks Tri Hita Karana Ruang);
  4. Sinergi lintas kelembagaan (Bappeda, PUPRKIM, DLHK, Dinas Kebudayaan, dan Perguruan Tinggi).

Pergub DKI No. 20/2024 menjadi inspirasi bahwa kota yang maju bukanlah yang paling tinggi bangunannya, tetapi yang paling selaras antara manusia, alam, dan budaya.
Inilah arah Bali 2030: Smart Island, Sacred Design, Sustainable Future.


Daftar Pustaka

  1. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (2024). Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 20 Tahun 2024 tentang Ketentuan Tata Bangunan.
  2. Pemerintah Provinsi Bali. (2023). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang RTRW Provinsi Bali 2023–2043.
  3. Kementerian ATR/BPN. (2021). Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan RDTR.
  4. Kementerian PUPR. (2020). Pedoman Bangunan Hijau dan Pengelolaan Air Perkotaan.
  5. UNESCO (2012). Cultural Landscape of Bali Province: The Subak System as a Manifestation of Tri Hita Karana Philosophy.

About tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN

View all posts by tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN →