Abstrak
Penelitian ini menganalisis urgensi regulasi afirmatif mengenai Pelindungan Pantai, Sempadan Pantai, dan Perairan Pesisir di Bali, merespons maraknya konflik ruang, privatisasi, abrasi, dan alih fungsi yang mengancam keberlangsungan Upacara Adat, Interaksi Sosial, dan Ekonomi Masyarakat Lokal. Metode yang digunakan adalah studi hukum normatif dan pendekatan konseptual, yang memadukan kerangka hukum nasional (UU No. 15/2023 tentang Provinsi Bali, RZWP3K) dengan filosofi kearifan lokal (Sad Kerthi, khususnya Segara Kerthi). Hasil telaah menunjukkan bahwa GSB Pantai dan Sempadan Pantai secara teknis dan yuridis memiliki fungsi krusial sebagai zona penyangga ekologis dan mitigasi bencana, namun kerap gagal berfungsi sebagai zona pelindungan sosial-budaya. Regulasi afirmatif harus memperluas definisi Pelindungan dari sekadar aspek fisik menjadi jaminan akses abadi (public access easement) dan prioritas pemanfaatan ruang bagi kegiatan adat (seperti Melasti), interaksi sosial, dan ekonomi berbasis budaya (nelayan tradisional). Judul yang diajukan dalam telaah ini menekankan pendekatan spasial yang utuh (Pantai, Sempadan Pantai, Perairan Pesisir) untuk memastikan keberpihakan pada masyarakat lokal, sejalan dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali.
Kata Kunci: Sempadan Pantai, Pelindungan Pantai, Upacara Adat, Segara Kerthi, Privatisasi Ruang, Akses Publik.
Pendahuluan
Kawasan pesisir Bali adalah jantung kehidupan spiritual, sosial, dan ekonomi masyarakatnya. Secara spiritual, laut (Segara) adalah sumber penyucian dan energi kosmis, yang dihormati melalui konsep Segara Kerthi (penyucian laut) dalam Sad Kerthi (enam upaya penyucian/pemuliaan). Kegiatan Upacara Adat seperti Melasti dan Mulang Pekelem sangat bergantung pada akses bebas dan kemurnian Pantai dan Perairan Pesisir.
Namun, pesatnya investasi pariwisata dan pembangunan infrastruktur telah memicu konflik ruang yang akut. Privatisasi pantai oleh hotel dan resort, alih fungsi lahan menjadi bangunan permanen di Sempadan Pantai, dan degradasi ekologis (abrasi, pencemaran) secara langsung mengancam keberlanjutan fungsi sakral dan sosial-ekonomi masyarakat lokal (Udayana, 2016).
Urgensi Penelitian
Penelitian ini muncul sebagai respons kritis terhadap kondisi tersebut. Diperlukan regulasi yang tidak hanya mengatur aspek teknis lingkungan (abrasi, GSB) tetapi juga memberikan jaminan yuridis dan spasial bagi hak adat masyarakat.
Analisis Judul dan Ruang Lingkup
Judul yang diusulkan, “Telaah Komprehensif Sempadan Pantai di Bali: Tinjauan Kondisi Saat Ini dan Regulasi Afirmatif Pelindungan Pantai, Sempadan Pantai, dan Perairan Pesisir untuk Kepentingan Upacara Adat, Sosial, dan Ekonomi Masyarakat Lokal”, menegaskan cakupan spasial dan keberpihakan:
- Cakupan Spasial Utuh: Mencakup tiga entitas ruang yang berbeda namun saling terkait:
- Pantai: Ruang daratan yang dipengaruhi pasang surut, digunakan untuk aktivitas keseharian dan upacara.
- Sempadan Pantai: Zona penyangga ekologis dan mitigasi bencana yang diatur dalam hukum tata ruang (UU No. 26/2007 dan turunannya).
- Perairan Pesisir: Ruang laut tempat dilaksanakannya upacara Melasti dan mata pencaharian nelayan.
- Arah Kebijakan (Afirmatif): Menuntut kebijakan yang memihak (affirmative action) untuk memprioritaskan fungsi non-kapitalistik (Adat, Sosial, Ekonomi Lokal) di atas kepentingan investasi.
- Terminologi Pelindungan: Penggunaan kata Pelindungan (sesuai kaidah EYD terbaru) menunjukkan upaya aktif untuk menjaga, mengelola, dan mencegah konflik atau degradasi ruang.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif (Normative Legal Research) dengan pendekatan interdisipliner:
- Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach): Menganalisis regulasi tertinggi, terutama UU No. 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali, Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Bali, serta Perda terkait Tata Ruang, untuk mengidentifikasi mandat dan tumpang tindih regulasi terkait Sempadan Pantai.
- Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach): Menganalisis kearifan lokal Bali (Segara Kerthi, Tri Hita Karana) sebagai landasan filosofis pelindungan pesisir dan membandingkannya dengan kondisi empiris privatisasi yang terjadi.
- Studi Kasus Kualitatif: Menggunakan studi literatur dan dokumentasi konflik ruang di pantai-pantai kritis (misalnya, terkait beach club atau hotel yang menghalangi akses) untuk menilai kegagalan implementasi GSB Pantai saat ini.
Hasil Penelitian
A. Fungsi dan Kondisi Aktual Sempadan Pantai
Secara teknis, Sempadan Pantai (SP) ditetapkan sebagai batas perlindungan minimum, biasanya antara 50 hingga 100 meter dari garis pantai.
| Fungsi SP Menurut Regulasi | Kondisi Aktual di Bali |
| Fungsi Teknis/Ekologis | Kegagalan Implementasi |
| Zona penyangga abrasi, mitigasi tsunami, dan RTH. | Alih fungsi menjadi bangunan semi-permanen atau komersial. |
| Fungsi Sosial-Budaya (mandat RZWP3K) | Privatisasi dan Konflik Akses |
| Jaminan akses publik, tempat upacara (Melasti), dan kegiatan nelayan. | Akses publik terblokir oleh pagar, fasilitas hotel, atau bangunan privat, mengganggu ritual dan ekonomi lokal. |
B. Mandat Yuridis Afirmatif UU No. 15/2023
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali memberikan kewenangan khusus bagi Pemerintah Daerah untuk mengatur tata kelola sumber daya alam berdasarkan kearifan lokal. Ini termasuk mandat untuk mengutamakan kepentingan adat, budaya, dan masyarakat lokal dalam tata ruang, memberikan landasan yuridis yang kuat untuk membuat regulasi afirmatif yang memprioritaskan:
- Pelestarian Segara Kerthi melalui penetapan zona sakral/suci di pesisir.
- Jaminan Akses Publik yang tidak dapat dicabut (non-derogable public right) di seluruh kawasan Pantai dan Sempadan Pantai.
C. Kesenjangan Filosofis: Segara Kerthi vs. Kapitalisme Pesisir
Filosofi Segara Kerthi mewajibkan pemuliaan laut dan pesisir. Dalam konteks tata ruang, ini berarti keseimbangan (Palemahan) di mana pemanfaatan ekonomi tidak boleh merusak fungsi ekologis dan spiritual. Kondisi aktual menunjukkan kesenjangan: pembangunan ekonomi (hotel, beach club) seringkali berorientasi kapitalistik murni yang mengubah hak kolektif menjadi hak privat, bertentangan langsung dengan asas kebersamaan Pawongan dan kesucian Parahyangan (Udayana, 2016).
Pembahasan (IMRAD: Discussion)
A. Definisi Ulang “Pelindungan” dalam Konteks Bali
Untuk kawasan pesisir Bali, “Pelindungan” harus didefinisikan secara luas, mencakup:
- Pelindungan Ekologis (Teknis): Mempertahankan KDH/RTH dan vegetasi pantai (mangrove, cemara laut) sebagai benteng alami terhadap abrasi dan gelombang.
- Pelindungan Budaya (Sakral): Penetapan dan perlindungan Jalur Melasti dan area upacara suci di Pantai dan Perairan Pesisir (zona inti), yang tidak boleh ada bangunan atau kegiatan yang mengganggu kesucian.
- Pelindungan Sosial-Ekonomi: Jaminan akses fisik dan legalitas pemanfaatan ruang Sempadan Pantai untuk kegiatan nelayan tradisional (pendaratan perahu, menjemur jaring) dan kegiatan sosial (interaksi, rekreasi lokal).
B. Urgensi Regulasi Afirmatif (Perda Khusus)
Regulasi afirmatif adalah keharusan politik dan yuridis daerah. Rekomendasi kebijakan yang perlu dikodifikasi dalam Peraturan Daerah Khusus (Perda) meliputi:
- Akses Publik Mutlak (Public Access Easement): Mewajibkan penyediaan koridor akses publik yang lebar (misalnya, minimal 3-5 meter) di sepanjang Sempadan Pantai pada semua lahan milik privat, tanpa kecuali.
- Prioritas Pemanfaatan Berbasis Adat: Dalam RZWP3K, kawasan pesisir tertentu harus ditetapkan sebagai Zona Pemanfaatan Terbatas dengan Prioritas Adat/Budaya, di mana Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah Nol dan pemanfaatan komersial hanya diizinkan melalui kemitraan dengan BUMDA/Desa Adat.
- Sanksi Pidana Adat dan Hukum: Menegakkan sanksi adat (Kulkul) dan sanksi pidana/denda yang tegas bagi pihak yang memblokir akses atau mencemari Perairan Pesisir, sejalan dengan kewenangan otonomi daerah yang diperkuat oleh UU No. 15/2023.
C. Harmonisasi GSB Pantai dan Sempadan Pantai
Sempadan Pantai (50-100m) adalah zona yang lebih luas daripada Garis Sempadan Bangunan (GSB) Pantai. Untuk mengakhiri konflik, GSB Bangunan di dalam Sempadan Pantai harus diselaraskan menjadi:
- Bangunan Non-Permanen (untuk Adat/Nelayan): Diizinkan dengan batas minimal.
- Bangunan Permanen (Komersial/Hunian): Dilarang di seluruh Sempadan Pantai. GSB di luar Sempadan Pantai harus tetap mematuhi ketentuan yang paling restriktif.
Kesimpulan (IMRAD: Conclusion)
Telaah komprehensif ini menyimpulkan bahwa Pelindungan Pantai, Sempadan Pantai, dan Perairan Pesisir di Bali harus diartikan sebagai pelindungan total yang mencakup aspek ekologis, spiritual, dan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Kegagalan regulasi saat ini dalam menjamin akses publik dan fungsi adat (seperti Melasti) telah memicu konflik dan degradasi filosofi Segara Kerthi. Diperlukan implementasi Regulasi Afirmatif berdasarkan mandat UU No. 15/2023, yang menetapkan Akses Publik Mutlak dan Prioritas Pemanfaatan Budaya di kawasan Sempadan Pantai sebagai harga mati untuk mewujudkan tata kelola pesisir yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Refleksi untuk Kita Semua/Pemangku Kepentingan
Isu Sempadan Pantai adalah ujian moral bagi visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Apakah kita akan membiarkan pesisir Bali menjadi milik segelintir investor, atau mempertahankannya sebagai ruang sakral dan ruang bersama (ruang publik) bagi masyarakat?
- Untuk Pemerintah (Legislatif dan Eksekutif): Tuntaskan Perda Afirmatif yang secara tegas mendefinisikan Sempadan Pantai sebagai Zona Pelindungan Total, di mana privatisasi, pagar, dan bangunan permanen komersial DILARANG. Gunakan UU No. 15/2023 sebagai payung hukum untuk mewajibkan Akses Publik Abadi di semua properti pesisir. Jangan biarkan investasi mengorbankan Segara Kerthi.
- Untuk Investor dan Pengembang: Pahami bahwa investasi di Bali harus dilandasi oleh etika budaya. Menutup akses pantai adalah melanggar hak adat dan merusak citra branding Bali yang harmonis. Gunakan GSB Sempadan Pantai sebagai area komitmen untuk menyediakan RTH, jalur jogging publik, dan ruang ritual yang terawat. Bisnis yang menghormati Pawongan dan Palemahan akan berkelanjutan.
- Untuk Masyarakat Adat dan Lokal: Kalian adalah penjaga sah Sempadan Pantai. Organisasikan diri dan gunakan perangkat hukum (UU No. 15/2023) untuk menuntut kembali hak akses yang terblokir. Lakukan pengawasan ketat dan gunakan Kulkul (sanksi adat) jika terjadi pelanggaran terhadap fungsi sakral Pesisir. Jaga kebersihan dan kesucian Pantai dan Perairan Pesisir sebagai perwujudan aktif Segara Kerthi.
Daftar Pustaka
I Wayan Suky Luxiana. (2022). Arsitektur Tradisional Bali Era 4.0. Warmadewa University Press.
Ngakan Ketut Acwin Dwijendra. (2008). Arsitektur Rumah Tradisional Bali, Berdasarkan Asta Kosala Kosali. Udayana University Press.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang. (2021).12
Pemerintah Provinsi Bali. (2023). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali. Jakarta: Sekretariat Negara.34
Udayana. (2016). Pengaturan Hukum Terhadap Privat5isasi Semp6adan Pantai oleh Pengusaha Pariwisata di Provinsi Bali. Analisis Pariwisata, 16(1), 44–58.
