Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan telaah komprehensif terhadap implementasi Garis Sempadan Bangunan (GSB) di Provinsi Bali, menganalisis kondisi lapangan terkini, serta merumuskan solusi pengaturan yang kontekstual dan berkelanjutan. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dan deskriptif, dengan menganalisis peraturan perundang-undangan nasional (UU, PP) dan regulasi daerah (Perda RTRW Bali) serta studi literatur mengenai isu tata ruang dan pariwisata di Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa GSB di Bali tidak hanya diatur oleh pertimbangan teknis, tetapi juga dijiwai oleh filosofi Tri Hita Karana. Tantangan utama yang dihadapi adalah pelanggaran masif di kawasan pesisir (sempadan pantai) dan daerah wisata akibat tekanan pembangunan pariwisata (overtourism). Solusi pengaturan yang diusulkan mencakup penguatan kerangka hukum daerah berbasis kearifan lokal (Parahyangan, Pawongan, Palemahan), penegakan hukum yang tegas terhadap privatisasi ruang publik, dan penyusunan Peraturan Zonasi (PZ) yang lebih rinci dan partisipatif.
Kata Kunci: Garis Sempadan Bangunan, Bali, Tri Hita Karana, Sempadan Pantai, Tata Ruang Pariwisata.
Pendahuluan
Bali, sebagai destinasi pariwisata kelas dunia, menghadapi dilema akut antara tuntutan pembangunan ekonomi dan keharusan pelestarian lingkungan serta budaya (Sudibya, 2025). Pertumbuhan infrastruktur pariwisata yang masif, terutama di kawasan pesisir dan sentra budaya, menciptakan tekanan besar pada tata ruang (Putri K. S., 2023).
Garis Sempadan Bangunan (GSB) adalah instrumen kunci dalam pengendalian ruang yang bertujuan membatasi jarak bebas minimum bangunan dari batas properti atau fasilitas publik tertentu (Kementerian PUPR, 2021). Dalam konteks Bali, GSB memiliki dimensi unik karena harus menyelaraskan regulasi teknis nasional dengan Kearifan Lokal (local wisdom), khususnya konsep Tri Hita Karana—filosofi yang menuntut keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), sesama manusia (Pawongan), dan lingkungan (Palemahan) (Pemerintah Provinsi Bali, 2023).
Penelitian ini meninjau bagaimana kerangka hukum GSB nasional terimplementasi di Bali, mengidentifikasi akar permasalahan di lapangan yang diperparah oleh pariwisata massal, dan menawarkan solusi pengaturan GSB yang berlandaskan keberlanjutan dan budaya Bali (Nangun Sat Kerthi Loka Bali).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan Hukum Normatif-Empiris dengan fokus utama pada analisis doktrinal dan perundang-undangan.
- Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach): Analisis hierarki regulasi, mulai dari Undang-Undang (UU) hingga Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali.
- Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach): Telaah konsep GSB dikaitkan dengan filosofi Tri Hita Karana dan isu-isu tata ruang kontemporer Bali (misalnya, overtourism dan alih fungsi lahan).
- Analisis Kondisi Lapangan: Melalui studi literatur dan laporan media, diidentifikasi kasus-kasus pelanggaran GSB (khususnya sempadan pantai) dan dampaknya terhadap ruang publik.
Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk merumuskan kerangka hukum yang ideal dan solusi praktis bagi pengaturan GSB yang berkelanjutan di Bali.
Hasil Penelitian
A. Kerangka Hukum GSB Nasional dan Adopsi di Bali
GSB di Bali tunduk pada kerangka regulasi nasional, yang berfungsi sebagai payung hukum utama:
| Tingkat Regulasi | Dasar Hukum | Relevansi GSB |
| Undang-Undang | UU No. 28 Tahun 2002 jo. UU No. 11 Tahun 2020 | Mewajibkan pemenuhan GSB sebagai bagian dari Persyaratan Tata Bangunan dan Lingkungan dalam pengurusan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). |
| Peraturan Pemerintah | PP No. 16 Tahun 2021 | Mendefinisikan GSB secara resmi dan mengintegrasikannya ke dalam Standar Teknis Bangunan Gedung. |
| Peraturan Presiden | Perpres No. 51 Tahun 2016 | Menetapkan Garis Sempadan Pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi. Ketentuan ini sangat penting di Bali. |
Adopsi dan implementasi GSB di Bali diatur pada tingkat daerah, dengan inti pengaturan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2023–2043 (Pemerintah Provinsi Bali, 2023). Perda ini secara eksplisit mengamanatkan perlindungan sempadan alam (pantai, sungai, danau) dan kawasan strategis provinsi yang bernilai budaya dan spiritual, sesuai prinsip Tri Hita Karana.
B. Kondisi Saat Ini: Pelanggaran dan Tantangan GSB di Bali
Meskipun terdapat kerangka hukum yang jelas, implementasi GSB di Bali menghadapi tantangan besar, terutama didorong oleh sektor pariwisata dan tekanan ekonomi:
1. Denasionalisasi dan Privatisasi Sempadan Pantai
Pelanggaran GSB/Sempadan Pantai di Bali merupakan masalah kronis. Banyak industri pariwisata (hotel dan resort) membangun fasilitas melewati batas 100 meter yang ditetapkan oleh Perpres 51/2016. Pelanggaran ini mengambil dua bentuk:
- Fisik: Pembangunan permanen di area sempadan (Putri K. S., 2023).
- Akses: Pemasangan pagar, pembatas, atau penutupan akses publik menuju pantai, yang melanggar fungsi Palemahan (hubungan harmonis dengan alam) (Udayana, 2016).
2. Ketidakserasian GSB Jalan dengan Kearifan Lokal
Pada GSB terhadap jalan, Peraturan Walikota Denpasar Nomor 17 Tahun 2015 (Pemerintah Kota Denpasar, 2015) telah mencoba mengintegrasikan kearifan lokal dengan menetapkan GSB sebagai $1/2$ Rumija + 1 meter telajakan. Namun, di kawasan padat, konsep telajakan (ruang di antara pagar dan GSB, sering digunakan untuk fungsi budaya atau estetika Bali) sering terabaikan atau difungsikan secara komersial.
3. Kelemahan Regulasi Rinci di Tingkat RDTR
Perda RTRW Provinsi Bali (Perda 2/2023) memberikan arahan umum. Namun, pengaturan GSB yang detail dan kuantitatif berada pada tingkat Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten/Kota. Kesenjangan ini menimbulkan konflik spasial (misalnya, antara peternakan dan permukiman) karena absennya Peraturan Zonasi (PZ) yang memuat ketentuan teknis jarak aman (Tarubali, 2025).
Pembahasan: Solusi Pengaturan GSB Berbasis Tri Hita Karana
Pengaturan GSB di Bali membutuhkan pendekatan ganda: penegakan hukum yang tegas dan integrasi filosofi budaya yang kuat.
A. Penguatan Dimensi Parahyangan dan Palemahan
Solusi utama harus bersandar pada filosofi Tri Hita Karana, dengan fokus pada perlindungan kawasan sakral dan alam:
| Prinsip Tri Hita Karana | Solusi Pengaturan GSB | Mekanisme Regulasi |
| Parahyangan (Hub. dengan Tuhan) | Penetapan GSB/Sempadan Pura dan kawasan suci yang lebih ketat dari standar minimum nasional. | Perda/Perwali harus mencantumkan radius kesucian zona pura sesuai Dresta (hukum adat) dan menetapkan GSB yang menjamin vista (pandangan) ke objek suci tidak terganggu. |
| Palemahan (Hub. dengan Alam) | Penegasan GSB Pesisir 100m dan Kawasan Resapan Air. | Penegakan hukum mutlak terhadap pembangunan di bawah GSB 100m sesuai Perpres 51/2016, dengan sanksi berupa pembongkaran tanpa kompromi. Perlu adanya audit spasial rutin pada seluruh properti wisata di pesisir. |
| Pawongan (Hub. dengan Sesama) | Kewajiban Akses Publik dan Ruang Terbuka Hijau (RTH). | GSB harus diwajibkan berfungsi sebagai RTH minimum untuk resapan dan akses publik (misalnya, untuk nelayan atau upacara Melasti), sejalan dengan konsep Palemahan yang mengutamakan fungsi sosial-ekologis (Tarubali, 2025). |
B. Harmonisasi Regulasi Melalui Pedoman Teknis Rinci
Untuk mengatasi kelemahan regulasi rinci di tingkat RDTR (Sumber 4.5), Pemerintah Provinsi Bali perlu menyusun Pedoman Teknis GSB Spesifik Kawasan (Building Code) yang mengikat semua Kabupaten/Kota, mencakup:
- Integrasi GSB dengan Palemahan: Pedoman perhitungan GSB untuk kawasan padat/komersil yang wajib menyertakan sumur resapan, kolam detensi, atau ruang terbuka hijau untuk memitigasi banjir dan kepadatan lahan (Priyo, 2025).
- Harmonisasi Sempadan Ganda: Mekanisme penentuan GSB pada lahan yang berbatasan dengan lebih dari satu sempadan (misalnya, jalan sekaligus sungai), di mana GSB yang terberat (terjauh) harus diwajibkan.
C. Pendekatan Partisipatif dan Penegakan Hukum
Solusi pengaturan GSB tidak akan berhasil tanpa partisipasi aktif masyarakat dan penegakan hukum yang kuat (Ardinata, 2025).
- Partisipasi: Melibatkan Desa Adat dan tokoh masyarakat dalam penetapan dan pengawasan GSB lokal, terutama di sempadan sungai dan kawasan tradisional, untuk membangun kesadaran kolektif.
- Penegakan Hukum: Memanfaatkan sistem Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) untuk memastikan GSB dipenuhi sejak tahap perencanaan. Pemerintah daerah harus menindak tegas pelanggaran GSB tanpa memandang status pemilik bangunan (WNA maupun perusahaan besar), guna menghilangkan preseden buruk (Pawisik Bali, 2025).
Kesimpulan
Garis Sempadan Bangunan (GSB) di Bali adalah isu krusial yang melintasi batas hukum teknis dan budaya. GSB diatur secara nasional oleh UU No. 28/2002 dan PP No. 16/2021, namun diperkuat dan dikontekstualisasi oleh Perda RTRW Provinsi Bali No. 2 Tahun 2023, yang berlandaskan filosofi Tri Hita Karana.
Kondisi saat ini menunjukkan tantangan besar, ditandai oleh pelanggaran GSB pesisir (sempadan pantai) dan privatisasi ruang publik oleh industri pariwisata. Solusi pengaturan yang diusulkan adalah: (1) Mengintegrasikan nilai Tri Hita Karana (terutama Parahyangan dan Palemahan) ke dalam ketentuan GSB spesifik; (2) Menyusun Pedoman Teknis GSB yang rinci untuk harmonisasi regulasi RDTR; dan (3) Melakukan penegakan hukum yang tidak pandang bulu serta melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan Desa Adat dalam pengawasan.
Refleksi Penulis
Telaah GSB di Bali menyadarkan bahwa tata ruang yang efektif tidak dapat dicapai hanya dengan garis-garis di atas peta. Kasus pelanggaran sempadan pantai yang masif di Bali menunjukkan kegagalan pemerintah daerah dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi jangka pendek (pariwisata) dan kelestarian ekologis-kultural jangka panjang. GSB seharusnya menjadi batas suci antara domain privat dan domain publik, dan kegagalan menjaganya adalah bentuk “pencurian” ruang publik yang merusak keharmonisan. Solusi pengaturan harus mengembalikan fungsi GSB sebagai manifestasi Palemahan, di mana alam diberi ruang untuk bernapas dan berfungsi sebagai benteng mitigasi bencana, bukan sekadar ruang mati di depan bangunan.
Daftar Pustaka
Ardinata, (2025). Refleksi Tata Ruang Bali Pasca Bencana. Diakses dari https://balebengong.id/merefleksikan-tata-ruang-bali-pasca-bencana/
Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan Provinsi DKI Jakarta. (2024). Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 20 Tahun 2024 tentang Ketentuan Tata Bangunan. Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2021). Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Jakarta: Kementerian PUPR.
Pemerintah Kota Denpasar. (2015). Peraturan Walikota Denpasar Nomor 17 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Pemerintah Provinsi Bali. (2023). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2023–2043.
Pawisik Bali. (2025, 13 Agustus). Proyek Bangunan di Seseh, Badung Diduga Langgar Garis Sempadan Bangunan. Diakses dari https://pawisikbali.com/2025/08/13/proyek-bangunan-di-seseh-badung-diduga-langgar-garis-sempadan-bangunan/
Priyo. (2025). Merefleksikan Tata Ruang Bali Pasca Bencana. Diakses dari https://balebengong.id/merefleksikan-tata-ruang-bali-pasca-bencana/
Putri K. S. (2023). Pengaturan Hukum Denasionalisasi Pemanfaatan Sempadan Pantai Oleh Pengusaha Pariwisata Di Provinsi Bali. Jurnal Sasana, 8(2), 404–412.
Sudibya, J. G. (2025, 23 Agustus). Bali Gagal Kelola Pariwisata Ramah Lingkungan, Alami Gejala Overtourism hingga Pelanggaran Makin Masif Jatiluwih. Diakses dari https://www.atnews.id/portal/news/26352/bali-gagal-kelola-pariwisata-ramah-lingkungan-alami-gejala-overtourism-hingga-pelanggaran-makin-masif-jatiluwih
Tarubali. (2025, 27 November). PENERAPAN GARIS SEMPADAN BANGUNAN PETERNAKAN (GSBP) UNTUK MENGENDALIKAN ZONASI USAHA DI BALI. Diakses dari https://tarubali.baliprov.go.id/penerapan-garis-sempadan-bangunan-gsbp-untuk-mengendalikan-zonasi-usaha-di-bali/
Udayana. (2016). PENGATURAN HUKUM TERHADAP PRIVATISASI SEMPADAN PANTAI OLEH PENGUSAHA PARIWISATA DI PROVINSI BALI. Analisis Pariwisata, 16(1), 44–58.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. (2002). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134. Jakarta: Sekretariat Negara.
