Telaah Akademis Komprehensif Garis Sempadan Bangunan (GSB) di Provinsi Bali: Kerangka Regulasi, Realitas Implementasi, dan Solusi Penguatan Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Abstrak

Penelitian ini menyajikan telaah akademis komprehensif mengenai Garis Sempadan Bangunan (GSB) di Provinsi Bali, dengan fokus pada kerangka regulasi yang ada, realitas implementasinya di lapangan, dan solusi strategis untuk penguatan pengendalian pemanfaatan ruang. Bali, sebagai destinasi pariwisata utama, menghadapi tantangan berat akibat tekanan overtourism dan pembangunan infrastruktur yang sering mengabaikan GSB. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual, menganalisis harmonisasi antara regulasi nasional (UU No. 28/2002, PP No. 16/2021, Perpres No. 51/2016) dan Peraturan Daerah (Perda RTRW Provinsi Bali No. 2 Tahun 2023). Hasil telaah menunjukkan adanya dikotomi antara regulasi yang berlandaskan filosofi Tri Hita Karana dengan realitas implementasi yang masif melanggar GSB, khususnya sempadan pantai (100 meter) dan privatisasi akses publik. Solusi penguatan pengendalian ruang harus melibatkan: (1) Integrasi GSB dengan prinsip Palemahan (lingkungan) dan Pawongan (sosial) secara konsisten; (2) Penyusunan Peraturan Zonasi (PZ) yang rinci dan partisipatif di tingkat RDTR; dan (3) Penegakan hukum yang tegas, transparan, dan tanpa kompromi terhadap pelanggaran di kawasan strategis pariwisata dan konservasi.

Kata Kunci: Garis Sempadan Bangunan, Bali, Tri Hita Karana, Sempadan Pantai, Pengendalian Tata Ruang, Perda RTRW.


Pendahuluan

Pembangunan di Bali berada pada persimpangan kritis, di mana pertumbuhan industri pariwisata menuntut ekspansi infrastruktur fisik, sementara nilai budaya dan kelestarian lingkungan menuntut konservasi ruang yang ketat (Sudibya, 2025). Garis Sempadan Bangunan (GSB) adalah instrumen tata ruang yang esensial dalam menyeimbangkan kebutuhan pembangunan dan konservasi ini. GSB tidak hanya berfungsi teknis (keamanan, sirkulasi udara) tetapi juga memiliki peran fundamental dalam menjaga karakter arsitektur lokal, akses publik, dan mitigasi bencana alam.

Keunikan GSB di Bali terletak pada integrasinya dengan filosofi Tri Hita Karana (Pemerintah Provinsi Bali, 2023), yang mengharuskan setiap penataan ruang mempertimbangkan harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), sesama manusia (Pawongan), dan lingkungan (Palemahan). Misalnya, GSB terhadap pantai dan sungai menjadi manifestasi perlindungan Palemahan dan kewajiban akses publik (Pawongan).

Meskipun kerangka regulasi GSB telah ada, realitas implementasi menunjukkan peningkatan pelanggaran yang masif, terutama privatisasi sempadan pantai oleh industri pariwisata (Putri K. S., 2023; Udayana, 2016). Kondisi ini mengancam citra pariwisata Bali yang berkelanjutan dan memicu berbagai masalah urban seperti kemacetan, sampah, dan banjir (detikcom, 2025).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Menelaah kerangka regulasi GSB di Bali, dari tingkat nasional hingga peraturan daerah.
  2. Menganalisis realitas implementasi GSB di kawasan strategis pariwisata Bali dan mengidentifikasi faktor penyebab pelanggaran.
  3. Merumuskan solusi penguatan pengendalian pemanfaatan ruang melalui pengaturan GSB yang terintegrasi dengan kearifan lokal.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan Hukum Normatif (Normative Legal Research) yang didukung dengan studi deskriptif kualitatif terhadap kondisi aktual di lapangan berdasarkan laporan dan kajian akademis.

  • Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach): Menganalisis hierarki dan isi peraturan perundang-undangan yang relevan, meliputi:
    • Undang-Undang (UU No. 28/2002, UU No. 11/2020).
    • Peraturan Pemerintah (PP No. 16/2021).
    • Peraturan Presiden (Perpres No. 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai).
    • Peraturan Daerah (Perda Provinsi Bali No. 2 Tahun 2023 tentang RTRW Provinsi Bali 2023–2043) dan Peraturan Zonasi (PZ) terkait.

  • Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach): Mengkaji konsep GSB dikaitkan dengan prinsip-prinsip tata ruang berkelanjutan dan filosofi Tri Hita Karana, termasuk konsep arsitektur Bali seperti natah dan telajakan.

Data dianalisis secara kualitatif untuk mengidentifikasi inkonsistensi, tumpang tindih kepentingan, dan kesenjangan antara kebijakan (regulasi) dengan praktik di lapangan (implementasi).


Hasil Penelitian

A. Kerangka Regulasi GSB di Bali: Antara Standar Nasional dan Kearifan Lokal

Secara kerangka hukum, GSB di Bali diatur secara komprehensif, mulai dari Standar Teknis Bangunan Gedung (diterapkan melalui PP No. 16/2021) hingga ketentuan khusus daerah.

1. Garis Sempadan Pantai (GSP)

GSP menjadi GSB terpenting di Bali karena aspek pariwisata. Perpres No. 51 Tahun 2016 menetapkan GSP minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Perda RTRW Provinsi Bali No. 2 Tahun 2023 memperkuat ini sebagai bagian dari perlindungan kawasan lindung, yang secara filosofis merupakan perwujudan prinsip Palemahan (Pemerintah Provinsi Bali, 2023).

2. GSB terhadap Jalan dan Elemen Lokal

Di tingkat kabupaten/kota, GSB terhadap jalan dirinci. Contohnya, di Kota Denpasar, GSB dihitung dengan formula yang memasukkan elemen lokal telajakan (Pemerintah Kota Denpasar, 2015). Telajakan adalah ruang terbuka di depan pagar yang harus menjadi area publik, sering dimanfaatkan untuk upacara atau vegetasi hijau. Hal ini adalah upaya mengintegrasikan prinsip Pawongan (ruang sosial bersama) ke dalam GSB teknis.

3. Ketinggian Bangunan

Selain GSB horizontal, Bali juga memiliki batasan ketinggian bangunan (GSB Vertikal) yang ketat. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit sebagai GSB, pembatasan ketinggian maksimal tiga lantai atau 15 meter (tergantung lokasi) di banyak area adalah instrumen pengendalian ruang yang bertujuan menjaga kesucian kawasan dan vista alam, perwujudan dari prinsip Parahyangan (keselarasan vertikal).

B. Realitas Implementasi: Pelanggaran dan Kesenjangan Kontrol

Implementasi GSB di Bali menunjukkan tiga masalah utama yang saling terkait:

1. Pelanggaran GSP dan Denasionalisasi Pesisir

Realitas di lapangan, terutama di kawasan pariwisata seperti Badung Selatan dan sebagian Denpasar, menunjukkan maraknya pembangunan hotel, vila, dan restoran yang melanggar GSP 100 meter (Pawisik Bali, 2025). Pelanggaran ini seringkali diikuti dengan privatisasi, seperti pemasangan pagar permanen yang menghalangi akses publik ke pantai, melanggar hak Pawongan dan fungsi ekologis Palemahan (Udayana, 2016).

2. Kelemahan Regulasi Rinci di RDTR

Perda RTRW Bali bersifat umum. Kontrol rinci seharusnya ada di Peraturan Zonasi (PZ) dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten/Kota. Namun, PZ seringkali belum memadai atau tidak tersinkronisasi, menyebabkan konflik spasial dan kesulitan dalam penindakan hukum (Tarubali, 2025). Misalnya, ketiadaan ketentuan GSB spesifik untuk jenis usaha tertentu (seperti peternakan intensif) memicu konflik horizontal di masyarakat.

3. Tekanan Overtourism dan Penegakan Hukum

Tingginya tekanan investasi pariwisata (disebabkan oleh overtourism) menjadi pendorong utama pelanggaran (Sudibya, 2025). Penegakan hukum yang tidak konsisten dan kurang transparan oleh otoritas lokal sering menjadi faktor yang memperburuk masalah, menciptakan preseden bahwa GSB dapat diabaikan jika diikuti dengan sanksi administratif yang lemah.


Pembahasan: Solusi Penguatan Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Kesenjangan antara regulasi GSB yang komprehensif dan implementasi yang lemah di Bali memerlukan solusi terpadu yang menyentuh aspek hukum, teknis, dan budaya.

A. Penguatan Dimensi Budaya dalam Regulasi GSB

Penguatan pengendalian GSB harus dikembalikan pada fondasi budaya Tri Hita Karana (Tarubali, 2025):

  1. GSB sebagai Ruang Konservasi (Palemahan): Ketentuan GSB pada sungai, danau, dan pantai harus ditinjau ulang agar tidak hanya memenuhi batas minimal, tetapi juga berfungsi sebagai kawasan konservasi ekologis (RTH/sumur resapan) untuk mitigasi bencana dan menjaga ketersediaan air (Priyo, 2025).
  2. GSB sebagai Akses Publik (Pawongan): GSB, terutama di tepi jalan dan pantai, harus dijamin fungsinya sebagai ruang bersama. Peraturan Zonasi harus secara tegas melarang segala bentuk privatisasi, termasuk penutupan akses, pembangunan fisik non-permanen, dan komersialisasi RTH di area GSB.
  3. Audit Spasial Kawasan Sakral (Parahyangan): GSB di sekitar pura dan kawasan suci perlu diikat dengan ketentuan radius kesucian yang mutlak (sesuai Dresta), dan dikontrol secara ketat agar vista ke objek suci tetap terjaga dari bangunan tinggi atau padat.

B. Optimalisasi Instrumen Pengendalian Teknis (RDTR dan PZ)

Kunci untuk implementasi yang efektif terletak pada rincian teknis di tingkat operasional:

  1. Penyusunan Peraturan Zonasi yang Wajib dan Partisipatif: Kabupaten/Kota di Bali harus didorong untuk segera menyelesaikan dan mengimplementasikan RDTR yang detail. PZ harus memuat ketentuan GSB/Jarak Bebas Antarbangunan (JBB) secara kuantitatif untuk setiap jenis fungsi bangunan dan risiko lingkungan (Tarubali, 2025). Penyusunan PZ harus melibatkan tokoh adat dan masyarakat (pendekatan partisipatif) agar memiliki legitimasi sosial (Ardinata, 2025).
  2. Pedoman Teknis GSB Provinsi: Pemerintah Provinsi Bali perlu menyusun Pedoman Teknis GSB yang mengikat dan berlaku di seluruh kabupaten/kota, khususnya mengenai sempadan spesifik (misalnya GSB untuk peternakan) yang saat ini tumpang tindih regulasi.

C. Penegakan Hukum dan Transparansi

Sistem Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) harus dimaksimalkan. Pelanggaran GSB harus dikategorikan sebagai pelanggaran Standar Teknis Bangunan Gedung yang fatal.

  • Sanksi Administratif dan Pidana: Penerapan sanksi (denda, pembekuan/pencabutan PBG, hingga pembongkaran) harus dilakukan secara tegas dan transparan, tanpa memandang besaran investasi atau status pemilik, untuk menghilangkan moral hazard (Pawisik Bali, 2025).
  • Pengawasan Berbasis Teknologi: Pemanfaatan teknologi Sistem Informasi Geografis (GIS) dan drone untuk pemantauan GSB/GSP secara real-time dapat meningkatkan efisiensi pengawasan dan akurasi data pelanggaran.

Kesimpulan

Garis Sempadan Bangunan (GSB) adalah instrumen vital dalam pengendalian pemanfaatan ruang di Bali yang didasarkan pada kerangka hukum nasional dan diperkuat oleh Perda RTRW berbasis Tri Hita Karana. Namun, tekanan ekonomi pariwisata telah menghasilkan kesenjangan implementasi yang serius, di mana pelanggaran GSP dan privatisasi ruang publik menjadi masalah kronis.

Solusi penguatan pengendalian pemanfaatan ruang di Bali harus dilakukan melalui: (1) Penegasan GSB sebagai ruang konservasi (Palemahan) dan ruang publik (Pawongan); (2) Penyusunan Peraturan Zonasi yang rinci dan implementatif di tingkat RDTR; dan (3) Penegakan hukum yang berkeadilan, transparan, dan memanfaatkan teknologi pengawasan. Dengan demikian, GSB dapat menjadi penjaga utama bagi keberlanjutan lingkungan dan budaya Bali.


Refleksi Penulis

Sebagai akademisi dan praktisi yang berafiliasi dengan penataan ruang di Provinsi Bali, saya menyadari bahwa isu GSB adalah cerminan dari konflik kepentingan paling mendasar di Pulau Dewata: antara pertumbuhan dan pelestarian. Regulasi di Bali sudah kuat secara filosofis, tetapi lemah secara struktural di tingkat operasional (RDTR/PZ) dan penegakan hukum.

Pelanggaran GSB, khususnya sempadan pantai, bukan sekadar masalah teknis jarak, tetapi masalah etika spasial. GSB adalah janji publik bahwa ruang bersama akan dilindungi. Ketika janji itu dilanggar oleh investasi, integritas tata ruang Bali runtuh. Refleksi ini mengajak semua pihak, dari perencana, pengambil kebijakan, hingga masyarakat, untuk menganggap GSB bukan sebagai “batas buangan” yang boleh dikorbankan, melainkan sebagai simpul harmoni yang esensial dalam menjaga Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Penguatan pengendalian GSB adalah pekerjaan kolektif yang mendesak.


Daftar Pustaka

Ardinata. (2025). Merefleksikan Tata Ruang Bali Pasca Bencana. Diakses dari https://balebengong.id/merefleksikan-tata-ruang-bali-pasca-bencana/

detikcom. (2025, 15 Januari). Beragam Masalah Pariwisata Bali: Macet, Sampah, hingga Banjir. Diakses dari https://www.detik.com/bali/wisata/d-7733054/beragam-masalah-pariwisata-bali-macet-sampah-hingga-banjir

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2021). Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Jakarta: Kementerian PUPR.

Pawisik Bali. (2025, 13 Agustus). Proyek Bangunan di Seseh, Badung Diduga Langgar Garis Sempadan Bangunan. Diakses dari https://pawisikbali.com/2025/08/13/proyek-bangunan-di-seseh-badung-diduga-langgar-garis-sempadan-bangunan/

Pemerintah Kota Denpasar. (2015). Peraturan Walikota Denpasar Nomor 17 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

Pemerintah Provinsi Bali. (2023). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2023–2043.

Priyo. (2025). Merefleksikan Tata Ruang Bali Pasca Bencana. Diakses dari https://balebengong.id/merefleksikan-tata-ruang-bali-pasca-bencana/

Putri K. S. (2023). Pengaturan Hukum Denasionalisasi Pemanfaatan Sempadan Pantai Oleh Pengusaha Pariwisata Di Provinsi Bali. Jurnal Sasana, 8(2), 404–412.

Sudibya, J. G. (2025, 23 Agustus). Bali Gagal Kelola Pariwisata Ramah Lingkungan, Alami Gejala Overtourism hingga Pelanggaran Makin Masif Jatiluwih. Diakses dari https://www.atnews.id/portal/news/26352/bali-gagal-kelola-pariwisata-ramah-lingkungan-alami-gejala-overtourism-hingga-pelanggaran-makin-masif-jatiluwih

Tarubali. (2025, 27 November). PENERAPAN GARIS SEMPADAN BANGUNAN PETERNAKAN (GSBP) UNTUK MENGENDALIKAN ZONASI USAHA DI BALI. Diakses dari https://tarubali.baliprov.go.id/penge-garis-sempadan-bangunan-gsbp-untuk-mengendalikan-zonasi-usaha-di-bali/

Udayana. (2016). PENGATURAN HUKUM TERHADAP PRIVATISASI SEMPADAN PANTAI OLEH PENGUSAHA PARIWISATA DI PROVINSI BALI. Analisis Pariwisata, 16(1), 44–58.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. (2002). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134. Jakarta: Sekretariat Negara.

About tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN

View all posts by tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN →