Pendahuluan
Sinkronisasi implementasi peraturan sektoral dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali Tahun 2023–2043, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023, merupakan langkah strategis dalam mewujudkan pembangunan yang terencana, terarah, dan berkelanjutan.
RTRW Bali bukan sekadar dokumen teknokratik, tetapi instrumen harmonisasi antara kepentingan pembangunan nasional, kebutuhan daerah, dan nilai-nilai kearifan lokal Bali yang berlandaskan Tri Hita Karana serta Sad Kerthi.
Di tengah dinamika global dan tekanan pembangunan yang masif, sinkronisasi ini menjadi penting agar setiap sektor pembangunan — baik infrastruktur, pariwisata, pertanian, kelautan, perumahan, maupun energi — berjalan dalam satu peta arah spasial dan sosial yang konsisten dengan rencana tata ruang provinsi.
1. Prinsip Integrasi Sektoral–Spasial dalam RTRW Bali
RTRW Bali 2023–2043 disusun berdasarkan prinsip:
- Keselarasan vertikal dan horizontal antar rencana (RTRWN, RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten/Kota, dan RDTR);
- Keterpaduan sektor — agar kebijakan sektoral seperti perumahan, pertanian, kehutanan, dan kelautan tidak tumpang tindih;
- Partisipasi publik dan adat — yang menjamin keterlibatan Desa Adat dan Subak dalam setiap kebijakan pemanfaatan ruang;
- Perlindungan ekosistem dan mitigasi bencana — melalui integrasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan peta rawan bencana;
- Penguatan digitalisasi tata ruang — melalui sistem One Spatial Data Bali, sejalan dengan kebijakan Satu Data Indonesia (Perpres No. 39 Tahun 2019).
Prinsip ini menjadikan RTRW Bali sebagai payung koordinatif bagi seluruh peraturan sektoral di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
2. Keterkaitan RTRW Bali dengan Peraturan Sektoral
Sinkronisasi RTRW Bali dilakukan dengan menelaah keterkaitan antara sektor-sektor strategis dan substansi spasial yang diatur dalam berbagai undang-undang serta peraturan pemerintah.
Berikut contoh konkret integrasinya:
a. Sektor Pertanian dan Lahan Pangan
- Berdasarkan UU No. 41 Tahun 2009, kawasan pertanian pangan berkelanjutan harus ditetapkan dalam RTRW provinsi.
- Dalam RTRW Bali 2023–2043, Zona Pertanian Lahan Basah dan Subak ditetapkan sebagai kawasan lindung budaya, bukan hanya fungsi ekonomi.
- Ini menjadi bentuk harmonisasi antara kebijakan pangan nasional dan pelestarian Subak sebagai warisan dunia UNESCO.
b. Sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
- Sesuai UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, kawasan strategis pariwisata merupakan bagian integral dari RTRW.
- RTRW Provinsi Bali menetapkan Koridor Pariwisata Berbasis Budaya dan Lingkungan, yang mencakup Bali Selatan, Bali Timur, dan kawasan Batur Geopark.
- Tujuannya untuk menekan tekanan pembangunan di wilayah padat seperti Kuta–Seminyak, serta mendorong diversifikasi pariwisata di Karangasem dan Buleleng.
c. Sektor Kelautan dan Pesisir
- PP No. 27 Tahun 2021 mewajibkan penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) yang selaras dengan RTRW.
- Dalam konteks Bali, RZWP-3-K disinkronkan dengan zona konservasi laut, perikanan tangkap tradisional (Bendega), dan kawasan suci laut (Segara Kerthi).
d. Sektor Perumahan dan Permukiman
- Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2011 dan PP No. 12 Tahun 2021, pembangunan permukiman wajib sesuai RTRW.
- Di Bali, setiap pengembangan permukiman harus memperhatikan daya dukung air dan tanah serta keterbatasan lahan non-sawah produktif.
- Zona permukiman diarahkan ke kawasan berpotensi rendah risiko bencana, dengan pengendalian Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Dasar Hijau (KDH).
e. Sektor Energi dan Pertambangan
- Berdasarkan Pasal 42 dan 93 Perda Bali No. 2 Tahun 2023, kawasan pertambangan batuan hanya diperbolehkan di wilayah laut tertentu seperti Selat Bali dan Samudera Hindia, dengan syarat mitigasi lingkungan ketat.
- Sinkronisasi dilakukan agar kegiatan konservasi pantai (seperti BBCP-2) tidak menggeser keseimbangan ekologis laut Bali.
3. Isu-Isu Strategis dalam Implementasi RTRW Bali
Implementasi RTRW Bali 2023–2043 menghadapi beberapa isu strategis yang perlu disinergikan dengan kebijakan sektoral:
| Isu Strategis | Deskripsi dan Potensi Dampak | Keterkaitan Regulasi |
|---|---|---|
| 1. Alih fungsi lahan sawah & Subak | Ancaman terhadap keberlanjutan pangan dan warisan budaya. | UU 41/2009 & Perda Desa Adat No. 4/2019 |
| 2. Tekanan pariwisata di zona padat Bali Selatan | Overdevelopment menimbulkan kemacetan, polusi, dan konflik ruang adat. | UU 10/2009 & RTRW Bali 2023–2043 |
| 3. Konflik Tanah Adat dan Zona Investasi | Ketidaksesuaian antara peta adat dan RDTR menyebabkan konflik sosial. | Perda Desa Adat No. 4/2019 & PP 21/2021 |
| 4. Keterbatasan lahan untuk perumahan rakyat | Pertumbuhan penduduk tinggi memicu pemanfaatan ruang tidak sesuai. | UU 1/2011 & PP 13/2021 |
| 5. Degradasi pesisir akibat abrasi dan reklamasi | Kegiatan penambangan pasir dan pembangunan pesisir tanpa kajian ekologis. | PP 27/2021 & RTRW Bali Pasal 93 |
| 6. Fragmentasi kelembagaan tata ruang | Tumpang tindih kewenangan antarinstansi pusat–daerah. | PP 21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang |
4. Strategi Sinkronisasi dan Harmonisasi Kebijakan
Untuk mengatasi isu-isu di atas, diperlukan langkah-langkah konkret sinkronisasi:
- Integrasi Data Spasial Berbasis KUGI (Katalog Unsur Geografi Indonesia)
Semua instansi wajib menggunakan satu referensi geospasial, sebagaimana diatur dalam Perpres No. 39 Tahun 2019 dan pedoman BIG tahun 2019. - Penguatan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Digital
Melalui platform OSS–Ruang, seluruh izin lokasi dan investasi wajib diverifikasi kesesuaian ruangnya terhadap RDTR digital terintegrasi. - Forum Konsolidasi Lintas Sektor dan Adat
Pembentukan Forum Sinkronisasi Penataan Ruang Bali yang melibatkan unsur pemerintah daerah, desa adat, akademisi, dan aparat keamanan untuk mendeteksi potensi konflik ruang secara dini. - Implementasi Penataan Ruang Adaptif-Bencana
Mengintegrasikan peta rawan banjir, gempa, dan abrasi laut ke dalam RDTR, selaras dengan Pedoman Analisis Kemampuan Lahan 2024. - Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum Ruang
Melalui koordinasi Dinas PUPRKIM, Satpol PP, dan Ditintelkam Polda Bali untuk mencegah pelanggaran tata ruang yang berpotensi menjadi isu sosial atau adat.
5. Implikasi terhadap Pembangunan Bali Era Baru
Sinkronisasi kebijakan sektoral dengan RTRW 2023–2043 akan memberikan dampak transformasional bagi Bali:
- Pembangunan terarah dan berkelanjutan, berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan.
- Keseimbangan antara pariwisata dan pangan, melalui perlindungan Subak dan diversifikasi ekonomi hijau.
- Perlindungan tanah adat dan ruang sakral, yang menjamin harmonisasi antara investasi dan spiritualitas lokal.
-
Penurunan potensi konflik pertanahan, melalui kesesuaian peta adat dengan peta tata ruang digital.
Refleksi untuk Kita Semua
Menata ruang Bali bukan hanya menata tanah dan bangunan, tetapi menata kehidupan dan kesadaran bersama.
Setiap garis di peta bukan sekadar batas, melainkan taksu ruang — napas kehidupan yang menghubungkan manusia, alam, dan Hyang Widi.
Maka, sinkronisasi kebijakan sektoral dan tata ruang harus menjadi tindakan sadar spiritual dan administratif, agar Bali tetap lestari, suci, dan berdaulat dalam era global.
Daftar Pustaka
- Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali 2023–2043.
- Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.
- Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
- Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.
- Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
- Badan Informasi Geospasial. (2019). Pedoman Implementasi Teknologi di Simpul Jaringan: Informasi Geospasial Berstandar KUGI.
- Pemerintah Provinsi Bali. (2024). Haluan Pembangunan Bali 100 Tahun Bali Era Baru 2025–2125.
- Dinas PUPRKIM Provinsi Bali. (2025). Kebijakan Sinkronisasi Tata Ruang dan Penataan Wilayah Bali Pasca-Perda RTRW 2023–2043.
