Banjir besar yang melanda Bali pada 10 September 2025 menjadi peringatan keras bagi semua pihak — pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan krama Bali — tentang pentingnya kembali menata hubungan manusia dengan alam. Hujan ekstrem yang menyebabkan meluapnya sejumlah sungai besar seperti Tukad Ayung, Tukad Badung, dan Tukad Sangsang bukan hanya fenomena alam, melainkan juga refleksi atas ketidakseimbangan tata kelola ruang dan pengelolaan daerah aliran sungai.
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa fungsi sempadan sungai tidak sekadar garis di peta atau batas administratif, melainkan ruang hidup dan ruang penyangga antara ekosistem sungai dan aktivitas manusia yang harus dijaga keberadaannya.
Sempadan Sungai sebagai Ruang Penyangga Kehidupan
Berdasarkan Modul 3 – Peraturan dan Kebijakan Terkait Sungai yang diterbitkan oleh Pusat Pengembangan Kompetensi Sumber Daya Air dan Permukiman (2024), sempadan sungai berfungsi sebagai ruang penyangga agar kegiatan manusia tidak mengganggu fungsi alami sungai dan sebaliknya.
Dalam sempadan sungai, terdapat tanggul yang berfungsi mengendalikan banjir, sedangkan ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul disebut bantaran sungai. Bantaran ini berperan penting sebagai zona peredam alami ketika debit air meningkat.
Lebih jauh, sempadan sungai memiliki beberapa fungsi utama:
- Sebagai aset lingkungan hidup yang kaya keanekaragaman hayati flora dan fauna, menjadi sumber kehidupan manusia dan ekosistem.
- Sebagai filter alami terhadap polutan, termasuk pupuk, pestisida, patogen, dan logam berat, sehingga menjaga kualitas air sungai dari pencemaran.
- Sebagai penahan erosi dan penguat struktur tanah, karena sistem perakaran vegetasi mampu menahan gerusan air.
- Sebagai ruang hijau ekologis dan sosial, tempat tumbuhnya vegetasi dan aktivitas masyarakat yang selaras dengan alam.
Sayangnya, banyak sempadan sungai di wilayah perkotaan Bali kini beralih fungsi menjadi permukiman, tempat usaha, bahkan area komersial, yang mempersempit ruang alami air dan memperbesar risiko banjir.
Refleksi Pasca Banjir: Antara Alam dan Tata Ruang
Banjir 10 September 2025 yang menewaskan sedikitnya sembilan orang dan merusak ratusan rumah di Denpasar, Gianyar, dan Badung — sebagaimana dilaporkan oleh Reuters (2025) dan BNPB (2025) — menandakan bahwa perubahan tata ruang yang tidak memperhatikan daya dukung sungai telah memperburuk dampak bencana.
Ruang sempadan yang seharusnya berfungsi sebagai “paru-paru air” kini banyak tertutup beton. Ruang infiltrasi berkurang, tanggul tidak terawat, dan bantaran sungai kehilangan vegetasi penyangga. Akibatnya, debit puncak air tidak dapat ditahan dan langsung meluap ke kawasan permukiman.
Inilah saatnya menjadikan bencana sebagai momentum refleksi dan perbaikan tata kelola ruang berbasis ekosistem. Pemerintah daerah, desa adat, dan masyarakat harus memulihkan kembali fungsi sempadan sungai melalui langkah nyata.
Langkah Strategis Pengurangan Risiko
Sebagai tindak lanjut pasca bencana, penguatan kebijakan pengurangan risiko banjir di Bali perlu diarahkan pada:
- Penegasan dan Penetapan Garis Sempadan Sungai
Berdasarkan peraturan, penetapan garis sempadan dilakukan melalui kajian teknis oleh tim yang dibentuk oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan. Kajian ini melibatkan instansi teknis dan unsur masyarakat untuk memastikan batas perlindungan sungai ditetapkan secara ilmiah dan partisipatif. - Rehabilitasi Ekosistem Bantaran Sungai
Reboisasi bantaran sungai dengan tanaman penahan erosi, seperti bambu, rumput vetiver, dan pohon riparian lokal, perlu segera dilakukan. - Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran Ruang Sempadan
Pemerintah daerah perlu menindak tegas pembangunan permanen di zona sempadan serta menata kembali bangunan yang menghambat aliran air. - Pemanfaatan Data Geospasial dan Geoportal MaSIKIAN
Integrasi peta sempadan sungai, peta daerah rawan banjir, dan peta tata ruang melalui geoportal MaSIKIAN akan membantu sinkronisasi data lintas sektor dan memudahkan pemantauan perubahan tutupan lahan. - Pendidikan dan Partisipasi Masyarakat
Kesadaran masyarakat menjadi kunci. Melalui pendekatan kultural dan kearifan lokal seperti subak, krama Bali dapat berperan menjaga kebersihan sungai, menanam vegetasi alami, dan tidak membuang limbah ke badan air.
Penutup
Tragedi banjir Bali 2025 seharusnya tidak hanya dikenang sebagai bencana, tetapi juga sebagai titik balik kesadaran kolektif. Sungai bukan musuh, melainkan bagian dari kehidupan yang harus dijaga keseimbangannya.
Dengan memahami kembali fungsi sempadan sungai sebagai ruang penyangga antara alam dan manusia, Bali dapat memperkuat daya lenting ekologisnya. Melalui sinergi antara kebijakan, teknologi geospasial, dan kesadaran budaya, Bali berpeluang menjadi contoh provinsi yang mampu membangun tata ruang adaptif terhadap perubahan iklim dan risiko bencana.
Daftar Pustaka
- Pusat Pengembangan Kompetensi Sumber Daya Air dan Permukiman. (2024). Modul 3: Peraturan dan Kebijakan Terkait Sungai. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Diakses dari https://sibangkoman.pu.go.id/center/pelatihan/uploads/edok/2024/10/9e8eb_03._Modul_3_Peraturan_dan_Kebijakan_Terkait_Sungai.pdf pada 9 Oktober 2025.
- Reuters. (2025). Floods in Indonesia’s Bali Kill at Least Nine, Officials Say. Diakses dari https://www.reuters.com/business/environment/floods-indonesias-bali-kill-least-nine-officials-say-2025-09-10 pada 9 Oktober 2025.
- BNPB. (2025). BNPB Warns Bali Faces Repeat of Deadly September Floods. Diakses dari https://en.antaranews.com/news/380157/bnpb-warns-bali-faces-repeat-of-deadly-september-floods pada 9 Oktober 2025.
- Pemerintah Provinsi Bali. (2023). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2023–2043. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali. Diakses dari https://jdih.baliprov.go.id pada 9 Oktober 2025.
- Badan Informasi Geospasial (BIG). (2022). Pedoman Pemetaan dan Penetapan Sempadan Sungai Berbasis Data Geospasial. Cibinong: BIG. Diakses dari https://www.big.go.id pada 9 Oktober 2025.