Policy Brief: Pelestarian Arsitektur Tradisional Bali sebagai Cerminan Struktur Sosial dan Keseimbangan Alam

Ringkasan Eksekutif

Bangunan tradisional Bali tidak hanya mencerminkan kebutuhan fungsional, tetapi juga merupakan representasi nilai-nilai budaya, struktur sosial, dan filosofi hidup masyarakat Bali yang berlandaskan konsep Tri Hita Karana. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pelestarian budaya, penting bagi kebijakan perencanaan wilayah dan tata ruang untuk mengakomodasi, melindungi, dan menghidupkan kembali prinsip-prinsip arsitektur tradisional Bali. Rumah-rumah seperti Puri, Geria, Jero, Umah, hingga Kubu, bukan hanya tempat tinggal, tetapi simbol kehidupan, spiritualitas, dan harmoni ekologis.


Latar Belakang

Perkembangan pembangunan dan urbanisasi yang pesat telah menyebabkan terpinggirkannya bentuk-bentuk arsitektur tradisional. Padahal, rumah tradisional Bali memiliki struktur ruang, tata letak, dan orientasi yang sangat memperhatikan keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas.

Dalam arsitektur tradisional Bali, bangunan tidak berdiri sendiri, melainkan tersusun dalam satu kesatuan pekarangan dan lingkungan desa adat, lengkap dengan fungsi sosial dan spiritualnya. Setiap jenis rumah memiliki nama, fungsi, dan tata ruang yang disesuaikan dengan status sosial, peran, dan aktivitas penghuninya.


Permasalahan

  1. Tergerusnya nilai-nilai arsitektur lokal oleh modernisasi dan komersialisasi.
  2. Minimnya regulasi perlindungan terhadap zona rumah tradisional dalam tata ruang modern.
  3. Kehilangan identitas sosial dan spiritual masyarakat akibat pergeseran bentuk rumah.

Jenis-Jenis Bangunan Tempat Tinggal Tradisional di Bali

1. Geria

Rumah bagi warih Brahmana, biasanya terletak di zona utama desa.

  • Fungsi: Tempat tinggal dan pusat kegiatan spiritual.

  • Ciri: Tata ruang menyesuaikan aktivitas spiritual dan pendidikan keagamaan.

2. Puri

Umumnya Puri dibangun dengan tata zoning yang berpola “Sanga mandala” semacam widegrid/papan catur berpetak sembilan. Bangunan-bangunan puri sebagian besar mengambil type utama. Antara zone satu dengan lainnya dari petak ke petak dihubungkan dengan pintu kori. Fungsi masing-masing bagian antara lain untuk :

  • Ancak saji, halaman pertama untuk mempersiapkan diri masuk ke Puri, dibagian kelod kauh.
  • Semanggen, bagian kelod untuk area upacara “Pitra yadnya/kematian.
  • Rangki, bagian kauh untuk area tamu-tamu ;paseban/persiapan sidang, pemeriksaan dan pengamanan.
  • Pewaregan, bagian kelod kangin untuk area dapur dan perbekalan.
  • Lumbung, bagian kaja kauh untuk area penyimpanan dan pengolahan bahan perbekalan/padi dan prosesnya.
  • Saren kaja, zoning kaja untuk area tempat tinggal istri-istri raja.
  • Saren Kangin, zoning kangin disebut juga Saren Agung untuk tempat tinggal raja.
  • Paseban, bagian t.engah untuk area pertemuan/sidang kerajaan.
  • Pamerajan Agung, bagian kaja kangin untuk area tempat suci perhyangan.
  • Dalam penterapan tata zoning disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kecenderungan serta kreasi masing-masing purl dengan para undagi arsiteknya.

3. Jero

Tempat tinggal warih Kesatria yang tidak memerintah langsung.

  • Pola ruang: Triangga – Parhyangan, Jeroan, Jabaan.

  • Lokasi: Zona utama, namun lebih sederhana dari puri.

  • Fungsi: Kediaman pejabat atau keluarga bangsawan.

4. Umah

Rumah masyarakat umum (Wesia dan lainnya).

  • Lokasi: Menyebar di seluruh desa, baik pegunungan maupun pesisir.

  • Ciri: Komposisi bangunan mengelilingi halaman tengah (natah).

  • Fungsi: Tempat tinggal petani, nelayan, dan masyarakat umum.

5. Kubu / Pakubon / Pondok

Tempat tinggal sementara di ladang, kebun, atau luar permukiman.

  • Sifat: Sederhana dan non-permanen.

  • Material: Gedeg, bambu, alang-alang.

  • Fungsi: Tempat tinggal petani atau nelayan saat masa tanam atau panen.

  • Dalam konteks spiritual, disebut Pedukuhan sebagai tempat hidup masa wanaprastha.


Kontribusi terhadap Nilai Lokal

Bangunan tempat tinggal tradisional Bali mengimplementasikan prinsip Tri Hita Karana:

  • Parhyangan (hubungan dengan Tuhan) → Pamerajan dalam rumah.

  • Pawongan (hubungan antar manusia) → Susunan rumah berdasarkan status sosial.

  • Palemahan (hubungan dengan alam) → Orientasi ruang ke natah dan harmoni dengan alam.


Rekomendasi Kebijakan

  1. Revitalisasi Permukiman Tradisional Desa Adat
    → Program pemugaran rumah-rumah tradisional dengan bantuan teknis dan dana desa.
  2. Peraturan Perlindungan Arsitektur Tradisional dalam RTRW
    → Integrasi unsur lokal dalam Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/kota.
  3. Pendidikan Arsitektur Lokal di Sekolah dan Universitas
    → Kurikulum berbasis pengetahuan lokal untuk regenerasi para undagi dan arsitek lokal.
  4. Insentif bagi Pemilik Rumah Tradisional
    → Pajak lebih ringan, subsidi renovasi rumah tradisional yang dipertahankan.
  5. Pelibatan Desa Adat dalam Perizinan Pembangunan
    → Memberikan hak konsultatif dan pertimbangan tata nilai dalam pembangunan baru.

Penutup

Pelestarian arsitektur tradisional Bali bukan sekadar menjaga bentuk bangunan, tetapi juga merawat identitas, tatanan sosial, dan keseimbangan spiritual masyarakat Bali. Kebijakan pembangunan yang memperhatikan dan menghargai warisan arsitektur lokal akan menjadi landasan bagi Bali menuju pembangunan yang berkelanjutan dan berakar budaya.


Referensi

  • Lontar Asta Kosala-Kosali.

  • Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat.

  • Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

  • Wiana, I. Ketut. Tri Hita Karana dalam Perencanaan Ruang Bali.

About tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN

View all posts by tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN →