PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEKTORAL TERKAIT BIDANG PENATAAN RUANG Integrasi Regulasi Spasial dalam Kerangka Omnibus Law dan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia

Pendahuluan

Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen hukum yang berfungsi mengatur, mengarahkan, dan menyeimbangkan kepentingan antarindividu dan kelompok dalam masyarakat. Dalam bidang penataan ruang, regulasi menjadi sarana untuk mengendalikan perilaku manusia terhadap pemanfaatan ruang darat, laut, dan udara agar tetap berlandaskan asas keberlanjutan dan keterpaduan antarwilayah.

Seiring dengan kompleksitas kegiatan pembangunan, investasi, dan penggunaan ruang di Indonesia, diperlukan sinkronisasi antara peraturan penataan ruang dengan sektor-sektor lain seperti pertanian, kelautan, perumahan, lingkungan hidup, dan pariwisata.
Kebutuhan inilah yang melahirkan pendekatan Omnibus Law, yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK).

UUCK berperan penting dalam menyederhanakan dan menyelaraskan berbagai regulasi sektoral yang selama ini tumpang tindih, sekaligus menghapus ego sektoral antarinstansi. Prinsip utamanya adalah bahwa segala bentuk kegiatan pemanfaatan ruang dan investasi harus berbasis pada Rencana Tata Ruang (RTR) sebagai single spatial reference untuk seluruh proses perizinan dan pengambilan keputusan pembangunan.


Konteks Omnibus Law dan Penataan Ruang

Omnibus Law hadir untuk mengatasi tumpang tindih peraturan yang sering kali menjadi penghambat investasi dan efisiensi pembangunan.
Dalam konteks penataan ruang, pendekatan ini menegaskan bahwa:

  1. Rencana Tata Ruang (RTR) menjadi satu-satunya acuan legal dalam pemberian izin lokasi dan kegiatan usaha.
  2. Setiap kebijakan sektoral wajib mengacu dan diselaraskan dengan RTRW nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.
  3. Peraturan turunan dari UUCK menuntut pemerintah pusat dan daerah untuk mempercepat digitalisasi dan penyelarasan data spasial melalui sistem OSS berbasis risiko dan sistem Online Single Submission – Ruang Laut dan Darat (OSS-RL).

Dengan demikian, keterpaduan hukum sektoral dengan RTR menjadi landasan hukum sekaligus mekanisme kontrol agar pembangunan tidak menimbulkan konflik tata ruang maupun pertanahan.


Keterkaitan Regulasi Sektoral dalam Bidang Penataan Ruang

Berikut adalah rangkuman peraturan sektoral yang memiliki keterkaitan langsung dengan bidang penataan ruang, sebagaimana tercantum dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah:

No. Peraturan Perundang-undangan Terkait Bidang Penataan Ruang Substansi/Muatan Utama
1 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pembangunan rumah dan kawasan perumahan harus dilakukan sesuai RTRW (Pasal 38 ayat 4).
2 UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Kawasan strategis pariwisata harus menjadi bagian integral dari RTRW nasional, provinsi, dan kabupaten/kota (Pasal 13 ayat 2).
3 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pemerintah wajib melaksanakan KLHS dalam penyusunan atau evaluasi RTRW dan RPJP/RPJM (Pasal 15 ayat 2a).
4 UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Lokasi KEK harus sesuai RTRW dan tidak mengganggu kawasan lindung (Pasal 4a).
5 UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan diatur dalam RTR nasional, provinsi, dan kabupaten/kota (Pasal 23).
6 UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Fungsi bangunan gedung harus sesuai peruntukan lokasi dalam RDTR (Pasal 6 ayat 1).
7 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Perencanaan pengadaan tanah harus berdasarkan RTR dan prioritas pembangunan (Bagian Kedua).
8 UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Pemanfaatan ruang laut dan pulau kecil wajib memiliki Izin Lokasi sesuai rencana zonasi (Pasal 16 ayat 1).
9 UU No. 2 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU Jalan Pengembangan jaringan jalan harus memperhatikan RTR (Pasal 14 ayat 2).
10 PP No. 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Pemeriksaan lokasi usaha dilakukan berbasis sistem elektronik sesuai RDTR (Pasal 179–180).
11 PP No. 12 Tahun 2021 tentang Perumahan dan Permukiman Pembangunan rumah wajib sesuai RTRW (Pasal 22 ayat 1).
12 PP No. 13 Tahun 2021 tentang Rumah Susun Pemanfaatan tanah wakaf untuk rumah susun harus sesuai RTR (Pasal 21 ayat 1).
13 PP No. 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung Lokasi bangunan harus mempertimbangkan potensi bencana sesuai RTR/RDTR (Pasal 103 ayat 2).
14 PP No. 27 Tahun 2021 tentang Bidang Kelautan dan Perikanan Penyusunan WKOPP harus mengacu pada RIPPN, RTRW, dan RZWP-3-K (Pasal 215 ayat 5).
15 PP No. 26 Tahun 2021 tentang Bidang Pertanian Penetapan kawasan penggembalaan umum harus sesuai RTRW kabupaten/kota (Pasal 161 ayat 1).
16 PP No. 23 Tahun 2021 tentang Kehutanan Pengukuhan kawasan hutan harus memperhatikan RTRW (Pasal 16 ayat 1).
17 PP No. 29 Tahun 2021 tentang Perdagangan Lokasi pusat perbelanjaan harus mengacu pada RTRW kabupaten/kota atau RDTR (Pasal 89 ayat 1).

Analisis Integratif

Berdasarkan daftar di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa seluruh kebijakan sektoral menempatkan RTRW dan RDTR sebagai acuan utama dalam:

  1. Penetapan lokasi kegiatan ekonomi dan sosial;
  2. Perlindungan kawasan lindung, lahan pertanian, dan sumber daya pesisir;
  3. Pengendalian pembangunan infrastruktur dan permukiman;
  4. Penyusunan perizinan berusaha dan pengadaan tanah; serta
  5. Penanganan konflik pemanfaatan ruang lintas sektor.

Keterpaduan ini menegaskan bahwa penataan ruang bukan sekadar fungsi teknis, tetapi instrumen strategis pembangunan nasional yang menentukan keberlanjutan investasi, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan sosial.


Implikasi terhadap Bali

Di Bali, implementasi peraturan sektoral penataan ruang menghadapi dinamika tersendiri karena faktor:

  • Keterbatasan lahan dengan tekanan tinggi sektor pariwisata dan infrastruktur;
  • Keberadaan Desa Adat dan Subak yang memiliki sistem pengelolaan ruang tradisional;
  • Kerentanan ekologis dan risiko bencana yang tinggi;
  • Tumpang tindih antara zona sakral, zona lindung, dan zona ekonomi.

Dengan demikian, sinkronisasi RTRW dan RDTR Bali dengan berbagai peraturan sektoral di atas menjadi kunci dalam mencegah konflik pertanahan, menjaga harmoni ruang suci, dan menjamin keberlanjutan ekonomi lokal.
Pendekatan ini harus berbasis filosofi Tri Hita Karana dan nilai-nilai Sad Kerthi, yang memadukan keseimbangan antara alam, manusia, dan budaya Bali.


Refleksi untuk Kita Semua

Harmonisasi regulasi spasial tidak hanya urusan teknis perencanaan, tetapi juga refleksi moral dalam menata ruang kehidupan.
Ruang bukan sekadar tanah untuk dimiliki, melainkan Bhuana Agung yang harus dijaga kesuciannya.
Ketika tata ruang disusun tanpa memperhatikan keseimbangan antara ekonomi dan ekologi, konflik tidak hanya muncul di atas tanah, tetapi juga dalam kesadaran kita sebagai penjaga harmoni Bali.


Daftar Pustaka

  1. Pemerintah Republik Indonesia. (2020). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  2. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. (2021). Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
  3. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2021). Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung.
  4. Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2021). Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.
  5. Pemerintah Provinsi Bali. (2023). Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2023–2043.
  6. Pemerintah Republik Indonesia. (2019). Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.
  7. Dinas PUPRKIM Provinsi Bali. (2025). Analisis Regulasi Sektoral dan Tata Ruang dalam Konteks Bali Era Baru 2025–2030.
  8. Sistem Informasi Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Tata Ruang Provinsi Bali (Simandara Taru Bali).
    Diakses dari: https://linktr.ee/simandaratarubali pada 9 Oktober 2025.\

About tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN

View all posts by tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN →