Telaah atas Pasal 6–8 Pergub Bali No. 24 Tahun 2020
I. Pendahuluan
Setelah bencana banjir besar yang melanda Bali pada September 2025, muncul kesadaran baru bahwa pelindungan lingkungan tidak dapat diserahkan hanya pada pendekatan teknokratis. Regulasi, teknologi, dan infrastruktur fisik (sakala) harus diimbangi dengan pendekatan spiritual, moral, dan budaya (niskala).
Peraturan Gubernur Bali Nomor 24 Tahun 2020 sesungguhnya telah menegaskan hal ini melalui Pasal 6–8, yang menjadikan Kearifan Lokal Sad Kerthi sebagai dasar pelindungan sumber daya air, melibatkan pemerintah daerah, desa adat, dan masyarakat dalam harmoni lintas dimensi: niskala (spiritual) dan sakala (material).
II. Pelindungan Secara Niskala: Spiritualitas sebagai Sistem Ekologi Sosial
Pasal 6–8 mengatur bahwa pelindungan terhadap danau, sungai, laut, dan tumbuh-tumbuhan dilakukan melalui upacara penyucian berkala, yang disebut:
- Danu Kerthi – penyucian danau dan sumber air,
- Segara Kerthi – penyucian laut,
- Wana Kerthi – penyucian tumbuh-tumbuhan dan hutan.
Upacara ini dilaksanakan setiap Tumpek Uye dan Tumpek Wariga, serta diselenggarakan secara alit (tingkat desa adat) dan utama (tingkat provinsi).
Dalam konteks manajemen sumber daya air modern, ritual ini memiliki makna ekologis yang dalam:
- Sebagai instrumen kesadaran kolektif: mendorong masyarakat untuk menghormati dan merawat sumber air bukan hanya karena peraturan, tetapi karena nilai sakral.
- Sebagai mekanisme sosial kontrol: ritual kolektif berfungsi memperkuat partisipasi masyarakat dalam pemantauan kondisi ekosistem lokal.
- Sebagai pendidikan ekologis lintas generasi: anak-anak dan generasi muda belajar bahwa air bukan sekadar komoditas, tetapi bagian dari jiwa jagat.
Penelitian Suardana & Widiatmika (2022) di Journal of Local Wisdom and Environmental Policy menunjukkan bahwa praktik ritual ekologis di Bali memiliki efek nyata terhadap penurunan pencemaran sumber air melalui peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan adat.
III. Pelindungan Secara Sakala: Integrasi Pemerintah dan Desa Adat
Pelindungan secara sakala (nyata) dilaksanakan oleh Perangkat Daerah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Desa Adat, yang saling terhubung dalam sistem kolaboratif:
- Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan, mengoordinasikan program rehabilitasi dan monitoring kualitas air.
- Pemerintah Kabupaten/Kota mengatur tata ruang, izin kegiatan, serta penegakan hukum di lapangan.
- Desa Adat memegang peran kultural dan sosial dalam penegakan dresta serta pelaksanaan upacara penyucian.
Model kolaborasi ini sejalan dengan konsep polycentric governance dalam teori pengelolaan sumber daya alam (Ostrom, 2010), di mana keberlanjutan dicapai ketika otoritas formal dan lokal bekerja dalam jaringan partisipatif yang saling memperkuat.
IV. Relevansi Pasca-Banjir 2025: Dari Ritual ke Resiliensi
Banjir Bali 2025 memperlihatkan bahwa degradasi spiritualitas ekologis sering berjalan seiring dengan degradasi lingkungan fisik. Hilangnya penghormatan terhadap tirta menyebabkan hilangnya disiplin terhadap tata ruang, sempadan sungai, dan pengelolaan limbah.
Dalam konteks rehabilitasi pasca-banjir, upacara penyucian (niskala) dapat diintegrasikan dengan aksi lingkungan (sakala), seperti:
- Penanaman pohon di sempadan sungai bertepatan dengan Tumpek Wariga;
- Gerakan Nyapuh Segara (pembersihan laut) setiap Tumpek Uye sebagai bagian dari kampanye anti-sampah plastik;
- Pemantauan kualitas air dan pengawasan sumber pencemar melalui partisipasi masyarakat adat.
Dengan demikian, ritual menjadi media aksi nyata yang menyatukan nilai spiritual dengan kebijakan ekologis modern.
V. Implikasi bagi Bali
- Reaktualisasi Sinergi Dinas PUPRPKP – Dinas Lingkungan Hidup – Majelis Desa Adat (MDA) dalam pelaksanaan kegiatan pelindungan air berbasis Sad Kerthi.
- Integrasi Kalender Upacara Niskala ke dalam Agenda Resmi Pemerintah Provinsi Bali sebagai instrumen edukasi dan monitoring lingkungan tahunan..
- Penyusunan Indeks Kesakralan Ekologis (IKE) untuk memetakan lokasi-lokasi suci air (tirta, pancoran, dan danau) yang perlu perlindungan prioritas dalam RTRW.
- Kolaborasi ilmiah dan spiritual dalam sistem pemantauan kualitas air, menggabungkan data laboratorium dengan indikator budaya.
VI. Refleksi untuk Kita Semua
Air adalah cermin hubungan manusia dengan alam dan Tuhan.
Ketika air meluap, mungkin bukan hanya karena curah hujan meningkat, tetapi karena kesadaran kita yang menurun.
Pelindungan niskala dan sakala bukan dua hal yang terpisah, tetapi dua sisi dari satu mata air kehidupan Bali.
Maka, setiap Tumpek Uye dan Tumpek Wariga bukan sekadar upacara, melainkan momentum introspeksi kolektif: apakah kita telah menjaga kesucian air sebagaimana kita menjaga diri sendiri?
VII. Daftar Pustaka
- Pemerintah Provinsi Bali. (2020). Peraturan Gubernur Bali Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut.
- Dinas PUPRPKP Provinsi Bali. (2025). Laporan Evaluasi Pasca-Banjir Bali 2025 dan Strategi Pengelolaan Air Berbasis Nilai Sad Kerthi.
- Suardana, I. K., & Widiatmika, A. A. (2022). “Local Rituals as Environmental Governance: The Case of Balinese Water Temples.” Journal of Local Wisdom and Environmental Policy, 9(2), 133–149.
- Ostrom, E. (2010). Polycentric Systems for Coping with Collective Action and Global Environmental Change. Global Environmental Change, 20(4), 550–557.
- Sutawan, I. N. (2023). “Integrating Balinese Water Rituals into Climate Adaptation Policy.” Sustainability Science in the Tropics, 8(1), 65–82.
- Permen PUPR Nomor 3 Tahun 2023 tentang Penataan Perizinan dan Persetujuan di Bidang Sumber Daya Air
- Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 2 Tahun 2024 tentang Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tentang Tata Cara Perizinan Berusaha Penggunaan Sumber Daya Air dan Persetujuan Penggunaan Sumber Daya Air
- PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
