Pendahuluan: Ironi di Tanah Dewata
Bali, dengan bentang sawah yang telah diakui UNESCO sebagai Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy (2012), kini menghadapi paradoks besar.
Pulau yang mengajarkan dunia tentang harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas kini harus berhadapan dengan kenyataan pahit: sawah semakin menyempit, petani semakin terpinggirkan, sementara vila, restoran, dan resort terus bertumbuh.
Meskipun Bali telah memiliki perangkat hukum dan tata ruang paling ketat di Indonesia — mulai dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025, hingga integrasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam Perda RTRW Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 —
alih fungsi lahan, khususnya di wilayah metropolitan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan), tetap melaju seperti air di celah batu: pelan tapi pasti.
1. Belenggu Regulasi dan Tekanan Ekonomi Sarbagita
Secara formal, KP2B dan LP2B telah ditetapkan dan terintegrasi dalam RTRW dan RDTR seluruh kabupaten/kota di Bali.
Namun di lapangan, regulasi yang kuat justru menjadi belenggu administratif bagi petani, tanpa memberi perlindungan ekonomi yang nyata.
⚖️ Benteng Regulasi yang Kaku
Ketentuan LP2B bersifat prohibitive — lahan yang telah ditetapkan tidak boleh dialihfungsikan, kecuali untuk kepentingan umum atau Proyek Strategis Nasional.
Secara prinsip, kebijakan ini mulia: menjaga kedaulatan pangan dan karakter agraris Bali.
Namun di Sarbagita, tekanan pasar tanah mencapai titik ekstrem. Nilai lahan sawah di Abiansemal, Canggu, Ubud, dan Kediri bisa mencapai 20–50 kali lipat dibanding nilai produktivitas pertanian per tahun.
💰 Kekuatan Pasar vs Kelemahan Regulasi
Ketika petani melihat perbedaan nilai ekonomi yang begitu besar, aturan hukum menjadi tidak relevan di hadapan realitas pasar.
Investor memanfaatkan celah izin, manipulasi status lahan, atau menggunakan skema “kepentingan umum” untuk memuluskan konversi.
Sementara itu, surat edaran, perda, dan rencana tata ruang hanya mengatur peta — bukan realita sosial ekonomi di bawahnya.
Hasilnya:
Regulasi kuat di atas kertas, tetapi lemah di akar rumput.
Sawah dilindungi secara hukum, namun hilang secara de facto.
2. Petani yang “Tak Tersentuh”: Regulasi Tanpa Rasa
“Lahan dilindungi, tapi petaninya dibiarkan berjuang sendiri.”
Inilah ironi paling mendasar dalam sistem perlindungan lahan pertanian di Bali.
🌾 Kegagalan Sistem Insentif
UU 41/2009 jelas menyebut bahwa perlindungan LP2B harus disertai insentif dan disinsentif. Namun di lapangan:
- Insentif yang dijanjikan tidak memadai — subsidi benih, pupuk, atau irigasi tidak sebanding dengan potensi keuntungan menjual lahan.
- Tidak ada kompensasi ekonomi yang kompetitif terhadap nilai lahan nonpertanian.
- Belum ada skema finansial kreatif seperti kredit mikro hijau, asuransi lahan, atau jaminan harga panen.
Bagi petani di Sarbagita, lahan sawah adalah aset terakhir sekaligus “tabungan masa depan”.
Ketika biaya hidup meningkat dan generasi muda enggan bertani, menjual tanah menjadi pilihan rasional.
Dengan kata lain, alih fungsi bukan pelanggaran hukum, tapi bentuk adaptasi ekonomi.
🚜 Petani Tidak Merasakan Perlindungan
Kebijakan LP2B kerap berhenti pada tataran spasial, bukan sosial. Petani tidak dilibatkan dalam proses perencanaan tata ruang.
Bagi mereka, LP2B hanyalah status hukum yang membatasi hak ekonomi tanpa memberikan nilai tambah.
3. Solusi Kritis: Dari Kontrol Spasial Menuju Pemberdayaan Ekonomi
Menahan laju alih fungsi lahan di wilayah tekanan tinggi seperti Sarbagita tidak cukup dengan “peta larangan”.
Yang dibutuhkan adalah rekayasa kebijakan ekonomi dan sosial yang menjadikan bertani kembali menguntungkan.
🪙 1. Revisi Skema Insentif dan Kompensasi Finansial
Insentif harus dihitung berdasarkan opportunity cost — kerugian ekonomi yang ditanggung petani karena tidak boleh menjual lahannya.
Solusinya:
- Dana Perlindungan Lahan Pertanian (DPLP) berbasis sharing provinsi–kabupaten;
- Skema kompensasi langsung untuk petani LP2B dalam bentuk bantuan uang tahunan;
- Harga gabah stabilisasi daerah, di mana Pemprov membeli hasil panen petani LP2B dengan harga premium.
🌾 2. Optimalisasi Peran Subak sebagai Ekowisata Produktif
Subak dapat menjadi model ekowisata berbasis warisan budaya.
Melalui integrasi antara LP2B dan sustainable tourism, petani tidak hanya mendapat penghasilan dari hasil panen, tetapi juga dari jasa ekosistem:
pemandangan sawah, upacara makingsan rong, hingga atraksi metekap dan mantenin subak.
Inisiatif seperti “Subak Experience” di Jatiluwih membuktikan bahwa pertanian bisa bersinergi dengan pariwisata tanpa kehilangan identitas.
⚖️ 3. Penegakan Hukum Tegas dan Transparan
Pemda harus berani menegakkan sanksi bagi pelanggaran konversi LP2B — bahkan terhadap pelaku bermodal besar.
Penertiban seperti kasus karaoke di Purworejo bisa menjadi preseden hukum.
Selain itu, pengawasan digital berbasis GIS perlu diterapkan agar perubahan tutupan lahan dapat terdeteksi otomatis.
4. Implikasi untuk Tata Ruang Bali
Paradoks sawah Bali bukan hanya persoalan pertanian, tapi kegagalan integrasi antara ekonomi, sosial, dan ruang.
Kebijakan LP2B harus diintegrasikan kembali dalam RTRW 2026–2046 dengan pendekatan realistis dan berbasis kesejahteraan.
| Aspek | Permasalahan | Arah Kebijakan |
|---|---|---|
| Tata Ruang | Zona LP2B tumpang tindih dengan kawasan pariwisata dan permukiman | Penetapan buffer zone dan revisi RDTR berbasis carrying capacity |
| Ekonomi | Nilai lahan pertanian jauh lebih rendah dibandingkan properti | Skema kompensasi dan subsidi pendapatan |
| Sosial Budaya | Subak melemah akibat individualisme dan generasi muda meninggalkan pertanian | Revitalisasi kelembagaan Subak sebagai unit ekonomi, sosial, dan wisata budaya |
Refleksi: Menyelamatkan Sawah, Menyelamatkan Bali
“Setiap hektare sawah yang hilang bukan hanya kehilangan sumber pangan, tapi kehilangan doa, budaya, dan jati diri Bali.”
Bali tidak kekurangan aturan — yang kurang adalah keadilan sosial di balik aturan itu.
Petani tidak membutuhkan regulasi tambahan; mereka butuh jaminan hidup yang layak dari tanah yang dijaga untuk semua.
Ke depan, penyelamatan sawah Bali harus dilakukan melalui kolaborasi lintas sektor:
- Pemprov & Bappeda: memimpin integrasi LP2B dengan perencanaan ruang dan fiskal;
- Dinas Pertanian & PUPRPKP: membangun infrastruktur irigasi dan skema air berkeadilan;
- Desa Adat & Subak: menjaga nilai spiritual dan sosial pertanian;
- Sektor pariwisata: menjadi mitra, bukan pesaing, melalui skema CSR hijau dan eco-tourism support.
Daftar Pustaka
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.UU No. 26 /2007 yang sebagian diubah muatannya dengan UU No. 6/2023 tentang Perpu Pengganti UU No. 2/2022 tentang UU CK
- UU No. 22/2019 Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan
- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2025 tentang Penguatan Ketahanan Pangan Nasional.
- Kementerian Dalam Negeri. (2025). Surat Edaran Nomor 500.12.3/5797/Bangda tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian melalui Perlindungan KP2B/LP2B.
- Surat Edaran Menteri Menteri ATR/Kepala BPN No. B/PP.04.03/1314/IX/2025 22 September 2025 Hal Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah kepada Gubernur, Bupati dan Wali Kota
- Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2023–2043.
- UNESCO. (2012). Subak Cultural Landscape of Bali Province: World Heritage Listing Document.
- Suardana, I.B.P. (2023). Dinamika Konversi Lahan di Kawasan Sarbagita dan Implikasinya terhadap Ketahanan Pangan Bali. Jurnal Tata Ruang Tropis, Vol. 15(2).
- Kemendagri – Dirjen Bangda. (2025). Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pangan 2025.
