Orientasi dalam Tata Ruang Bangunan

Selain memberikan nilai secara vertikal melalui konsep Tri Angga, terdapat juga tata nilai Hulu-Teben. Tata nilai ini membantu mencapai keselarasan antara bhuana agung (alam semesta) dan bhuana alit (manusia). Konsep Hulu-Teben ini berperan penting dalam menentukan orientasi tata ruang. Lebih jauh, konsep ini diterjemahkan ke dalam beberapa orientasi utama yang membentuk pola ruang tradisional di Bali.

Pertama, ada orientasi dengan konsep sumbu ritual Kangin-Kauh. Kangin, yang berarti matahari terbit, melambangkan arah luan atau nilai utama. Sedangkan Kauh, matahari terbenam, mewakili arah teba atau nilai nista.

Kedua, terdapat orientasi dengan konsep sumbu bumi Kaja-Kelod, yang lebih bersifat natural. Kaja, yang mengarah ke gunung, merupakan luan atau nilai utama. Sementara itu, Kelod, yang mengarah ke laut, dipandang sebagai teba atau nilai nista. Secara khusus, gunung di Bali bermakna suci, sehingga Kaja memiliki nilai yang lebih tinggi dalam susunan ruang.

Ketiga, konsep orientasi Akasa-Pertiwi mewakili hubungan antara atas dan bawah. Akasa, atau alam atas, diasosiasikan dengan Purusa, sementara Pertiwi, atau alam bawah, berhubungan dengan Pradana. Akasa melambangkan langit atau kekuatan spiritual, dan Pertiwi melambangkan bumi atau aspek material.

Dengan demikian, orientasi Akasa-Pertiwi sering diterapkan dalam perumahan atau lingkungan melalui natah. Natah adalah ruang kosong di tengah rumah tradisional Bali. Natah berfungsi sebagai pusat aktivitas keluarga dan simbol harmoni antara alam atas dan bawah.

Secara keseluruhan, konsep arah orientasi ini berlandaskan pada dua sumbu utama: Kaja-Kelod (arah gunung-laut) dan Kangin-Kauh (arah matahari terbit-terbenam). Penerapan kedua sumbu ini mencerminkan hubungan sakral antara manusia, alam, dan kosmos dalam tatanan ruang Bali. Ini berlaku baik dalam skala makro (seperti desa) maupun mikro (seperti rumah tinggal).

About tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN

View all posts by tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN →