Mengawal Kedaulatan Pangan: Telaah Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Tahun 2025

Pendahuluan: Lahan Sawah, Benteng Terakhir Ketahanan Pangan

Lahan pertanian, khususnya sawah, adalah fondasi kedaulatan pangan nasional. Namun, dalam dua dekade terakhir, Indonesia kehilangan lebih dari 650.000 hektare sawah produktif akibat alih fungsi lahan untuk permukiman, industri, dan pariwisata (BPS, 2023).
Kondisi ini bukan sekadar isu ekonomi, melainkan ancaman terhadap ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.

Sebagai respon strategis, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerbitkan Surat Edaran Nomor 500.12.3/5797/Bangda tanggal 4 September 2025 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian melalui Perlindungan Kawasan/Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B/LP2B).
Surat ini menegaskan kembali amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025, yang menjadi payung hukum baru dalam memperkuat sistem pengendalian alih fungsi lahan di daerah.


I. Amanat Utama: Integrasi KP2B/LP2B dalam Tata Ruang

Inti dari kebijakan ini adalah memastikan bahwa setiap dokumen tata ruang daerah — baik RTRW maupun RDTR — secara eksplisit dan spasial memasukkan zona KP2B dan LP2B sebagai kawasan lindung strategis.

🗺️ Langkah-Langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah Daerah

  1. Pengendalian Alih Fungsi Melalui RTRW
    Gubernur dan Bupati/Wali Kota diwajibkan melakukan penetapan KP2B melalui mekanisme peninjauan kembali atau revisi Perda RTRW, dengan mengacu pada data Lahan Baku Sawah (LBS) Nasional yang dikeluarkan oleh Kementerian ATR/BPN.
  2. Jaminan Perlindungan Hukum
    Pemda wajib melakukan pengawasan berkelanjutan terhadap efektivitas penetapan dan pemanfaatan lahan pertanian, termasuk melaporkan perubahan fungsi ruang secara berkala melalui sistem pelaporan terpadu.
  3. Integrasi dalam RDTR dan OSS
    Penetapan LP2B dalam RDTR akan memberikan dasar hukum kuat untuk menolak permohonan Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) di wilayah pertanian yang dilindungi, terutama dalam sistem Online Single Submission (OSS).

Langkah ini menegaskan bahwa perlindungan lahan pangan bukan hanya tugas sektoral pertanian, melainkan juga instrumen pengendalian ruang lintas sektor.


II. Strategi Perlindungan dan Pengendalian Jangka Panjang

1. Penguatan Data dan Regulasi

  • Inventarisasi Lahan Sawah Aktual: Pemerintah daerah wajib melakukan pemutakhiran data Lahan Baku Sawah (LBS) yang sering kali berubah akibat konversi ilegal.
  • Harmonisasi Data Spasial: Sinkronisasi peta tematik pertanahan dan tata ruang seperti Peta Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) menjadi dasar penetapan LP2B.
  • Integrasi Sistem Data Nasional: Seluruh data LP2B/ KP2B harus diunggah ke Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN) untuk mencegah duplikasi dan konflik data antar instansi.

2. Insentif dan Disinsentif Ekonomi

Perlindungan lahan tidak akan efektif tanpa kesejahteraan petani.

Insentif:
Pemerintah dapat memberikan dukungan berupa:

    • Bantuan irigasi dan alat pertanian,
    • Keringanan pajak bumi dan bangunan (PBB),
    • Kompensasi bagi daerah yang berhasil mempertahankan luas LP2B.
  • Disinsentif:
    Denda administratif, pembekuan izin, atau sanksi hukum terhadap pihak yang melakukan konversi lahan di wilayah LP2B tanpa izin.

3. Penegakan Hukum dan Pengawasan

Kemendagri menegaskan pentingnya law enforcement di tingkat daerah.
Contoh konkret ditunjukkan oleh Kabupaten Purworejo, yang melakukan penertiban bangunan hiburan malam di atas kawasan KP2B — menjadi simbol komitmen terhadap konsistensi penegakan tata ruang.


III. Tantangan di Lapangan: Antara Data, Kepentingan, dan Keadilan Sosial

Meski secara normatif kebijakan ini kuat, realisasi di lapangan masih menghadapi sejumlah tantangan:

  1. Ketidaktepatan Verifikasi Lapangan
    Lahan yang secara faktual sudah terbangun kadang masih tercatat sebagai sawah aktif dalam peta KP2B/LP2B, menyebabkan ketidaksinkronan perizinan.
  2. Resistensi Masyarakat
    Penetapan LP2B seringkali dianggap merugikan pemilik lahan karena membatasi nilai ekonomi properti, terutama di wilayah pinggiran kota dengan tekanan urbanisasi tinggi.
  3. Keterbatasan Integrasi OSS dan RTR Digital
    Belum sepenuhnya sinkronnya sistem OSS dengan peta zonasi RDTR menyebabkan pemerintah daerah kesulitan menolak permohonan izin pada lahan yang seharusnya dilindungi.
  4. Minimnya Dukungan Fiskal
    Banyak daerah kesulitan menyediakan insentif bagi petani LP2B karena keterbatasan fiscal capacity, sementara tekanan investasi terus meningkat.

IV. Implikasi untuk Bali: Menjaga Lumbung Pangan Pulau Dewata

Bali memiliki lahan sawah sekitar 58.000 hektare (2023), namun setiap tahun kehilangan rata-rata 700 hektare akibat konversi ke fungsi nonpertanian (BPS Provinsi Bali, 2024).
Padahal, sistem Subak — warisan budaya dunia UNESCO — adalah simbol harmoni Tri Hita Karana dan kedaulatan pangan lokal.

Penerapan kebijakan LP2B di Bali memiliki tiga urgensi strategis:

  1. Perlindungan Subak sebagai LP2B Spiritual-Ekologis
    Subak bukan sekadar sistem irigasi, tetapi identitas budaya. Integrasi Subak ke dalam peta LP2B adalah keharusan moral dan yuridis.
  2. Sinkronisasi RTRW Provinsi dan Kabupaten
    RTRW Provinsi Bali (Perda No. 2 Tahun 2023) dan RTRW Kabupaten/Kota perlu menegaskan LP2B dalam bentuk overlay zonasi yang tidak dapat dialihfungsikan, bahkan untuk proyek strategis nasional.
  3. Pariwisata Berkelanjutan
    Konversi sawah menjadi vila, restoran, dan akomodasi pariwisata di Badung dan Gianyar menjadi ancaman nyata. Perlindungan LP2B dapat diintegrasikan dengan kebijakan Green Tourism agar pertanian dan pariwisata saling memperkuat, bukan meniadakan.

V. Refleksi: Pangan sebagai Pertahanan, Bukan Sekadar Sektor

“Lahan sawah bukan hanya tempat tumbuh padi, tetapi ladang pertahanan bangsa.”

Kedaulatan pangan tidak bisa dicapai tanpa kedaulatan ruang. Setiap hektare sawah yang hilang adalah hilangnya peluang swasembada dan identitas agraris bangsa.
Kebijakan Kemendagri 2025 menjadi peringatan moral dan administratif bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan sumber kehidupan utama rakyat.

Untuk itu, kolaborasi lintas sektor menjadi keniscayaan:

  • Kemendagri dan ATR/BPN: mengawal regulasi dan tata ruang;
  • Kementan: menjamin produksi dan kesejahteraan petani;
  • Pemda: menjaga implementasi dan pengawasan di lapangan;
  • Masyarakat: menjadi penjaga etis ruang hidup dan budaya agrarisnya.

Daftar Pustaka

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
  2. UU No. 26 /2007 yang sebagian diubah muatannya dengan UU No. 6/2023 tentang Perpu Pengganti UU No. 2/2022 tentang UU CK
  3. UU No. 22/2019 Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan
  4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2025 tentang Penguatan Ketahanan Pangan Nasional.
  5. Kementerian Dalam Negeri. (2025). Surat Edaran Nomor 500.12.3/5797/Bangda tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian melalui Perlindungan KP2B/LP2B.
  6. Surat Edaran Menteri Menteri ATR/Kepala BPN No. B/PP.04.03/1314/IX/2025 22 September 2025 Hal Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah kepada Gubernur, Bupati dan Wali Kota
  7. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali. (2024). Statistik Pertanian Provinsi Bali 2024.
  8. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. (2023). Data Lahan Baku Sawah Nasional (LBS).
  9. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2023–2043.
  10. UNESCO. (2012). Subak Cultural Landscape of Bali Province: World Heritage Listing Document.

About tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN

View all posts by tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN →