Bagi masyarakat Bali, pantai bukan sekadar batas antara daratan dan lautan, melainkan ruang sakral yang menyimpan nilai-nilai spiritual, kosmologis, dan ekologis yang mendalam. Dalam tatanan hidup masyarakat yang berlandaskan Tri Hita Karana, pantai dan pesisir merupakan bagian penting dari hubungan manusia dengan alam (palemahan) dan dengan Tuhan (parahyangan).
Pantai sebagai Gerbang Sakral
Dalam kearifan lokal Bali, laut dipandang sebagai tempat bersemayamnya kekuatan agung, yang disebut sebagai Segara, simbol dari Ibu Pertiwi yang luas dan tak terbatas. Banyak pura kahyangan jagat berdiri menghadap laut, seperti Pura Tanah Lot, Pura Uluwatu, dan Pura Sakenan, yang menjadi tempat pemujaan kepada Dewa Baruna – penguasa lautan.
Ritual Melasti, misalnya, dilaksanakan di pantai untuk menyucikan diri dan alam semesta dari segala kotoran sekala dan niskala. Proses ini bukan hanya simbolik, tetapi mengandung pesan ekologis tentang pentingnya menjaga kesucian air dan lingkungan pesisir.
Sebagaimana disebutkan dalam Lontar Dwijendra Tattwa:
“Sagara puniki linggih Ida Sang Hyang Baruna, wenten ring segara, tan wruha gumanti, jaga ring pangelimbakan.”
(Laut adalah tempat bersemayam Sang Hyang Baruna, yang patut dijaga dan tidak diotori.)
Sempadan Pantai sebagai Ruang Transisi Sakral
Sempadan pantai, yaitu zona peralihan antara daratan dan laut, merupakan ruang transisi yang memiliki nilai kesucian dan kehati-hatian. Dalam praktik tradisional Bali, sempadan pantai tidak boleh dibangun sembarangan. Daerah ini menjadi tempat berlangsungnya upacara penyucian, penguburan simbolik (ngaben), atau tempat lepasnya abu kremasi ke laut.
Masyarakat Bali mengenal prinsip “nyegara gunung”, yakni aliran energi spiritual dari laut ke gunung dan sebaliknya. Sempadan pantai menjadi jalur sirkulasi energi kosmis itu. Bila sempadan ini dirusak atau dibeton habis, bukan hanya keseimbangan ekologi yang terganggu, tetapi juga tatanan spiritual dan harmoni Bali.
Perairan Pesisir sebagai Ruang Hidup dan Kehidupan
Perairan pesisir adalah wilayah penuh berkah. Di sinilah masyarakat menggantungkan hidup sebagai nelayan, petani garam, hingga pengolah hasil laut. Namun, dalam kearifan lokal Bali, laut bukan hanya tempat mengambil hasil, tapi juga tempat mewujudkan rasa hormat dan bhakti.
Dalam Lontar Kusuma Dewa disebutkan:
“Yen ngaba hasil segara, suciang ring manah, ulah ngawinayang alasane ring saduring sang hyang.”
(Jika mengambil hasil laut, sucikan dulu niatmu, jangan hanya karena tamak, sebab laut adalah manifestasi Tuhan.)
Bangkitkan Kesadaran Bersama untuk Gumi Bali yang Harmonis
Melihat pembangunan yang makin masif di pesisir Bali – mulai dari reklamasi, privatisasi pantai, hingga betonisasi sempadan pantai – kesucian ruang-ruang sakral ini kini berada dalam ancaman serius. Padahal, kesucian alam Bali adalah nafas dari Taksu Bali itu sendiri. Bila alam kehilangan taksunya, maka jati diri Bali pun terancam pudar.
Mari kita jaga dan rawat pantai, sempadan, dan pesisir tidak hanya sebagai aset fisik, tapi sebagai warisan spiritual dan budaya. Jadikan kearifan lokal sebagai kompas pembangunan. MaSIKIAN hadir sebagai wadah untuk menghidupkan kembali kesadaran itu, agar Bali tetap ajeg, harmonis, dan berjati diri.
Sebagaimana prinsip dalam Lontar Tattwa Wrehaspati:
“Ring jagat tan hana sane tan pinaka sthana Sang Hyang Widhi. Saking punika, jagat puniki pinanggih pinaka mandala suci.”
(Di dunia ini tak ada satu pun tempat yang bukan perwujudan Sang Hyang Widhi. Karena itu, seluruh jagat ini adalah kawasan suci.)