Makna dan Nilai Filosofis Tata Ruang Bangunan Tradisional Bali dalam Teks Asta Kosala Kosali

Arsitektur tradisional Bali memiliki keunikan yang kaya akan nilai filosofis dan spiritual. Kekuatan arsitektur ini tercermin dalam penerapan konsep-konsep Hindu yang menciptakan hubungan harmonis antara manusia, ruang, waktu, dan keadaan. Arsitektur Bali, meskipun terbuka terhadap perubahan, tetap mempertahankan tata nilai tradisionalnya sambil menerima nilai-nilai baru. Dalam artikel ini, makna dan nilai filosofis dari tata ruang bangunan tradisional Bali akan dibahas. Nilai-nilai ini terkandung dalam teks Asta Kosala Kosali. Kami juga akan membahas bagaimana nilai-nilai ini mempengaruhi kehidupan masyarakat Bali.

1. Makna Filosofis Tata Ruang dalam Arsitektur Tradisional Bali

Dalam kehidupan masyarakat Bali, penerapan nilai-nilai tradisional dalam penataan ruang bangunan sangat dipengaruhi oleh ajaran Hindu. Pengaruh ini khususnya melalui konsep Tri Hita Karana dan Tri Semaya. Tri Hita Karana menekankan pentingnya hubungan harmonis antara Tuhan (Parahyangan), manusia (Pawongan), dan lingkungan (Palemahan). Sementara itu, Tri Semaya mencerminkan kesadaran akan perjalanan waktu, yaitu hubungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Ajaran ini mendorong masyarakat Bali untuk menerima perubahan sebagai bagian dari hukum alam yang abadi, atau Rta. Dalam hal ini, perubahan dipahami bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari siklus kehidupan yang terus berlanjut. Desa Kala Patra, sebagai konsep ruang, waktu, dan keadaan, turut memperkuat fleksibilitas dalam penerapan arsitektur tradisional Bali. Ini berlaku baik dalam skala makro (alam) hingga mikro (rumah dan bangunan).

2. Tiga Elemen Utama dalam Tata Ruang Tradisional Bali

Nilai-nilai filosofis dalam tata ruang bangunan tradisional Bali terbagi menjadi tiga elemen utama:

  • Tatwa: Elemen ini mencakup pengaturan pekarangan dan wujud tata bangunan. Tatwa menjadi dasar pengaturan fisik tata ruang dan bangunan di Bali, yang mengatur harmoni antara manusia dan lingkungannya.
  • Susila: Berperan sebagai norma-norma dalam tata letak dan tata nilai keruangan. Elemen ini mencerminkan bagaimana masyarakat Bali hidup berdasarkan nilai-nilai tradisional yang mengatur hubungan sosial dan keruangan, serta mempengaruhi struktur kemasyarakatan.
  • Upakara: Upakara atau ritual keagamaan merupakan wujud penghormatan kepada Tuhan yang dalam bentuk sesajen dan ritual upacara. Dalam arsitektur, upakara ini terlihat dalam berbagai tahapan pembangunan, seperti pemilihan lahan, penentuan ukuran, hingga penyelesaian bangunan.

3. Upacara dalam Proses Pembangunan

Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari serangkaian upacara yang melibatkan spiritualitas dalam setiap tahap pembangunan. Mulai dari upacara nyukat karang (penentuan lahan) dan mecaru (permohonan izin perubahan lahan), hingga upacara pemelaspas (upacara syukur setelah bangunan selesai), setiap tahap pembangunan melibatkan ritual yang menyimbolkan hubungan antara manusia dengan kekuatan alam dan Tuhan.

Upacara-upacara ini juga bermakna untuk memohon keselamatan dan kesuksesan dalam setiap proses pembangunan. Misalnya, upacara ngejer daksina yang memohon perlindungan kepada Begawan Wiswakarma, dewa arsitek dalam tradisi Hindu Bali, agar pembangunan berjalan lancar tanpa hambatan.

4. Keindahan dan Ragam Hias dalam Arsitektur Bali

Selain nilai spiritual, arsitektur tradisional Bali juga kaya akan keindahan visual dalam wujud melalui berbagai hiasan dan ukiran. Ragam hias ini tidak hanya untuk mempercantik bangunan, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mendalam. Ukiran-ukiran ini biasanya menggambarkan kehidupan di bumi, seperti manusia, tumbuhan, dan binatang, serta berfungsi sebagai sarana komunikasi simbolis dalam ritual keagamaan.

Beberapa jenis ragam hias yang umum dalam arsitektur Bali antara lain keketusan, kekarangan, dan pepatran, yang ditempatkan di berbagai sisi bangunan untuk memperkuat nilai estetika dan simbolis bangunan tersebut.

5. Nilai Filosofis dan Harmoni Makrokosmos dan Mikrokosmos

Arsitektur tradisional Bali dibangun berdasarkan konsep Bhuana Agung (makrokosmos) dan Bhuana Alit (mikrokosmos), yang mencerminkan harmoni antara alam semesta yang besar dan alam semesta kecil, yaitu manusia dan lingkungannya. Konsep ini berakar pada kepercayaan bahwa manusia harus menjaga keseimbangan antara kedua unsur ini agar tercipta keharmonisan dalam kehidupan.

Dalam konteks tata ruang, harmoni ini diwujudkan melalui konsep Tri Hita Karana, yang mengintegrasikan unsur jiwa, tenaga, dan fisik (niskala dan sekala), serta menerapkannya dalam pengaturan ruang, baik dalam lingkup rumah tangga maupun lingkungan desa.

Kesimpulan

Tata ruang bangunan tradisional Bali tidak hanya mencerminkan keteraturan fisik, tetapi juga menggambarkan nilai-nilai filosofis yang mendalam tentang harmoni, spiritualitas, dan keseimbangan alam. Konsep-konsep Hindu seperti Tri Hita Karana, Tri Semaya, dan Desa Kala Patra menjadi landasan penting dalam penataan ruang tradisional Bali. Dengan mempertahankan nilai-nilai ini, masyarakat Bali terus menjaga keseimbangan antara tradisi dan perubahan, menciptakan arsitektur yang penuh makna dan bernilai tinggi baik dari segi fisik maupun spiritual.

About tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN

View all posts by tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN →