Konsep Kemampuan Lahan: Dasar Evaluasi Spasial untuk Penataan Ruang dan Pengelolaan Wilayah Berkelanjutan

Abstrak

Konsep kemampuan lahan (land capability) merupakan dasar dalam penilaian daya dukung fisik suatu wilayah untuk berbagai peruntukan ruang, baik pertanian maupun non-pertanian. Dalam konteks perencanaan tata ruang, kemampuan lahan menjadi instrumen penting untuk memastikan bahwa setiap bentuk pemanfaatan ruang tidak melampaui batas kemampuan ekosistem pendukungnya. Artikel ini membahas perkembangan konsep kemampuan lahan berdasarkan literatur klasik dan penerapannya di Indonesia sesuai dengan Permen PU No. 20/PRT/M/2007 serta Permen LH No. 17/2009. Kajian ini menyoroti perbedaan metodologis antara pendekatan fisik-geografis dan ekologis, serta pentingnya pembaruan metode analisis kemampuan lahan agar lebih adaptif terhadap kebutuhan perencanaan perkotaan dan mitigasi bencana di wilayah seperti Bali.

Kata kunci: kemampuan lahan, evaluasi lahan, kesesuaian lahan, penataan ruang, daya dukung lingkungan.


1. Pendahuluan

Konsep lahan (land) lebih luas daripada tanah (soil) atau medan (terrain), sebagaimana dinyatakan oleh FAO (1976). Lahan mencakup berbagai komponen fisik seperti tanah, topografi, iklim, vegetasi, hidrologi, geologi, dan lokasi geografis. Dalam konteks perencanaan tata ruang, lahan dipahami sebagai satu kesatuan sistem biofisik yang menjadi dasar seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan ekologis.

Penilaian kinerja suatu lahan untuk tujuan tertentu dikenal sebagai evaluasi lahan (land evaluation), yang mencakup studi dan interpretasi terhadap bentuk lahan, tanah, vegetasi, iklim, relief, serta hidrologi (FAO, 1976). Evaluasi ini digunakan untuk menentukan potensi dan keterbatasan suatu wilayah agar dapat digunakan secara berkelanjutan tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan.


2. Konsep Dasar Kemampuan Lahan

Konsep kemampuan lahan berawal dari pendekatan pertanian, terutama dikembangkan oleh Klingebiel & Montgomery (1961) di Amerika Serikat. Mereka mendefinisikan kemampuan lahan sebagai kapasitas alami lahan untuk mendukung penggunaan tertentu tanpa menimbulkan degradasi jangka panjang.

Menurut Cocks & Austin (1978) dan van Gool et al. (2005), kemampuan lahan adalah kesanggupan suatu lahan untuk mendukung jenis penggunaan tertentu tanpa menimbulkan kerusakan fisik, kimia, atau biologis terhadap sistem lahan itu sendiri.

Sementara Grose (1999) menegaskan bahwa klasifikasi kemampuan lahan adalah alat untuk mengelompokkan wilayah berdasarkan batasan fisik dan kemampuan berproduksi jangka panjang. Dengan demikian, kemampuan lahan merupakan konsep preventif terhadap degradasi lingkungan, sekaligus acuan dalam menetapkan arahan fungsi ruang (lindung vs budidaya).

Setiap kelas kemampuan lahan menunjukkan tingkat limitasi fisik:

  • Kelas I–III: memiliki limitasi sangat kecil, cocok untuk budidaya intensif,
  • Kelas IV–VI: memiliki keterbatasan menengah dan memerlukan konservasi,
  • Kelas VII–VIII: memiliki keterbatasan berat, diarahkan sebagai kawasan lindung.
    (Wells & King, 1989)

3. Hubungan antara Kemampuan Lahan dan Kesesuaian Lahan

Menurut van Gool et al. (2005), penilaian kemampuan lahan merupakan tahap awal sebelum menentukan kesesuaian lahan. Jika kemampuan lahan menilai apa yang bisa dilakukan oleh alam tanpa rusak, maka kesesuaian lahan menilai apa yang paling cocok dilakukan oleh manusia pada lahan tersebut.

Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu, misalnya untuk permukiman, pertanian, industri, atau konservasi. FAO (1976) menyebutkan bahwa proses klasifikasi kesesuaian lahan adalah penilaian dan pengelompokan area dalam kaitannya dengan tujuan penggunaannya, berdasarkan parameter kemampuan lahan yang telah dianalisis sebelumnya.


4. Perkembangan Konsep Kemampuan Lahan di Bidang Non-Pertanian

Walaupun awalnya dikembangkan untuk pertanian, konsep kemampuan lahan kemudian diperluas ke perencanaan perkotaan dan wilayah.
Menurut Sitorus (2010), konsep ini menjadi dasar untuk menilai kelayakan pengembangan permukiman, industri, dan infrastruktur dalam konteks tata ruang.

Pendekatan serupa dikembangkan oleh Hannam & Hicks (1980) yang mengadaptasi konsep urban land capability, menggabungkan aspek geologi, bentuk lahan, drainase, dan iklim untuk menentukan kelas kemampuan lahan perkotaan. Hunt (1992) kemudian memperkenalkan general urban capability, yang menilai kelayakan lahan perkotaan untuk berbagai fungsi berdasarkan stabilitas tanah, kemiringan, risiko bencana, dan aksesibilitas.


5. Metodologi Penilaian di Indonesia

Indonesia telah mengadopsi dua peraturan resmi sebagai pedoman analisis kemampuan lahan dan kesesuaian lahan, yaitu:

  • Peraturan Menteri PU No. 20/PRT/M/2007
    tentang Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan dalam Penataan Ruang, dan
  • Peraturan Menteri LH No. 17 Tahun 2009
    tentang Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang.

Kedua peraturan ini menjadi dasar operasional bagi pemerintah daerah dalam menyusun RTRW dan RDTR berbasis analisis spasial kemampuan lahan.


Tabel 1. Perbandingan Metode Analisis Kemampuan Lahan di Indonesia

Aspek Permen PU No. 20/PRT/M/2007 Permen LH No. 17/2009
Input/Variabel Klimatologi, topografi, geologi, hidrologi, bahan galian, penggunaan lahan, bencana alam Lereng, tanah, erosi, drainase, banjir/genangan, batuan
Proses Analisis Skoring & pembobotan (berbasis Urban Land Capability Hannam & Hicks, 1980) Adaptasi metode USDA (Klingebiel & Montgomery, 1961) dengan hukum faktor minimum
Pendekatan GIS Overlay, pembobotan multikriteria Overlay, identifikasi faktor pembatas
Output 5 kelas kemampuan (sangat rendah – sangat tinggi), arahan penggunaan ruang, dan evaluasi eksisting 8 kelas kemampuan dengan deskripsi pembatas dan subkelas
Kelemahan/Justifikasi Duplikasi variabel dan kurang operasional untuk wilayah perkotaan Fokus pada konservasi, perlu adaptasi untuk dinamika urbanisasi

(Sumber: diolah dari Kementerian PU & LH, 2007–2009)


6. Relevansi bagi Bali dan Penataan Ruang Berbasis Daya Dukung

Dalam konteks Provinsi Bali, penerapan konsep kemampuan lahan sangat relevan karena topografi pulau ini bervariasi — mulai dari dataran pantai selatan yang padat hingga pegunungan di utara-tengah yang menjadi daerah tangkapan air.

Pemanfaatan ruang yang tidak memperhatikan kemampuan lahan, terutama pada wilayah perbukitan dan sempadan sungai, telah menimbulkan dampak ekologis seperti banjir, erosi, dan kekeringan musiman. Oleh karena itu, analisis kemampuan lahan harus menjadi dasar dalam:

  • Penetapan kawasan lindung (hulu DAS, sempadan sungai, Tahura),
  • Pengendalian alih fungsi lahan pertanian, dan
  • Penataan permukiman perkotaan berketahanan iklim.

Hasil evaluasi ini mendukung implementasi Perda Provinsi Bali No. 2 Tahun 2023 tentang RTRW 2023–2043, yang menegaskan keseimbangan antara ruang budaya, ekonomi, dan ekologis sejalan dengan nilai Tri Hita Karana.


7. Kesimpulan

Konsep kemampuan lahan merupakan fondasi ilmiah sekaligus moral dalam penyusunan RTRW dan pengelolaan ruang berkelanjutan.
Dari berbagai pendekatan internasional dan nasional, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Kemampuan lahan menilai kapasitas ekologis lahan secara umum, sedangkan kesesuaian lahan menilai kecocokan spesifik untuk tujuan tertentu.
  2. Penerapan metode nasional (Permen PU 20/2007 dan Permen LH 17/2009) perlu disinergikan agar efektif untuk analisis perkotaan dan wilayah pesisir seperti Bali.
  3. Penguatan kapasitas kelembagaan dan sistem informasi geospasial menjadi kunci dalam implementasi evaluasi kemampuan lahan berbasis data terbuka dan interoperabel (Satu Data Indonesia).

Dengan demikian, kemampuan lahan bukan hanya instrumen teknis, melainkan juga dasar etika ekologis dalam menjaga harmoni ruang Bali — antara Palemahan, Pawongan, dan Parahyangan.


Daftar Pustaka

  • Cocks, K.D. & Austin, M.P. (1978). Land Capability Assessment. Melbourne: CSIRO.
  • FAO. (1976). A Framework for Land Evaluation. Rome: Food and Agriculture Organization.
  • Grose, C.J. (1999). Land Capability Handbook. Tasmania: Department of Primary Industries.
  • Hannam, I.D. & Hicks, J.F. (1980). Urban Land Capability Mapping for Planning and Development. Canberra: Australian Government Publishing Service.
  • Hunt, D. (1992). General Urban Capability Mapping. Perth: Land Resource Series.
  • Klingebiel, A.A. & Montgomery, P.H. (1961). Land Capability Classification. USDA Handbook No. 210.
  • Lacate, D.S. (1961). The Evaluation of Land Resources. Canada: Forestry Branch Bulletin.
  • Sitorus, S.R.P. (2010). Evaluasi Lahan: Pendekatan Fisik dan Sosial. Bogor: IPB Press.
  • van Gool, D., et al. (2005). Land Evaluation Standards for Land Resource Mapping. Western Australia Department of Agriculture.
  • Wells, R.W. & King, P.J. (1989). Land Capability Classification in Practice. New Zealand Soil Bureau.
  • Kementerian Pekerjaan Umum (2007). Permen PU No. 20/PRT/M/2007.
  • Kementerian Lingkungan Hidup (2009). Permen LH No. 17 Tahun 2009.
  • Pemerintah Provinsi Bali (2023). Perda No. 2 Tahun 2023 tentang RTRW Provinsi Bali 2023–2043.

About tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN

View all posts by tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN →