Ketentuan Ketinggian Maksimum dan Minimum Bangunan di Provinsi Bali: Harmonisasi Regulasi Teknis dan Filosofi Tri Hita Karana

Abstrak

Penelitian ini bertujuan menelaah secara akademis ketentuan ketinggian bangunan di Provinsi Bali, yang secara fundamental didasarkan pada dualitas antara kearifan lokal (local wisdom) dan standar teknis perencanaan kota. Ketentuan ketinggian maksimum bangunan di Bali secara unik ditetapkan berdasarkan prinsip filosofis yang tidak boleh melebihi ketinggian pohon kelapa (minimal 15 meter atau 4-5 lantai), yang bersumber dari Asta Kosala Kosali dan prinsip Tri Hita Karana. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual (kearifan lokal) dan teknis (standar keselamatan dan pengendalian kepadatan). Hasil telaah menunjukkan bahwa pembatasan ketinggian maksimum 15 meter berfungsi sebagai instrumen tunggal yang berhasil menyelaraskan pengendalian Koefisien Lantai Bangunan (KLB), mitigasi dampak visual (bayangan dan visual bulk), dan pengamanan struktural di wilayah rawan gempa, serta menghormati skala sakral gunung (Kaja) dan laut (Kelod). Sementara itu, ketentuan ketinggian minimum yang bersifat implisit bertujuan mencegah kawasan kumuh dan menjamin ruang layak huni (ketinggian lantai minimum). Pembatasan ketinggian ini merupakan kebijakan tata ruang di Indonesia yang paling sukses mengintegrasikan aspek spiritual dan teknis secara preskriptif dan tegas.

Kata Kunci: Ketinggian Bangunan, Pohon Kelapa, Tri Hita Karana, Asta Kosala Kosali, Tata Ruang Bali, KLB.


Pendahuluan

Pengendalian ketinggian bangunan (building height control) adalah salah satu variabel kunci dalam Peraturan Zonasi (PZ) yang menentukan kepadatan visual dan fungsional suatu kawasan. Di Provinsi Bali, kebijakan ini merupakan refleksi langsung dari identitas budaya dan religiusnya. Sejak tahun 1970-an, Bali secara konsisten menerapkan batasan ketinggian bangunan yang termasyhur: tidak boleh melebihi ketinggian pohon kelapa (Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, 2008).

Prinsip ini berakar kuat pada filosofi Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan: hubungan dengan Tuhan (Parahyangan), sesama manusia (Pawongan), dan lingkungan (Palemahan)) dan panduan arsitektur tradisional Bali, Asta Kosala Kosali. Ketinggian bangunan yang rendah dimaksudkan untuk menjaga kesakralan pura dan gunung sebagai orientasi spiritual (Kaja) dan mempertahankan skala manusia.

Dualisme Pengaturan Ketinggian

Saat ini, ketentuan ketinggian bangunan di Bali diatur dalam dualisme:

  1. Kearifan Lokal (Filosofis): Batas ketinggian pohon kelapa (sekitar 15 meter).
  2. Teknis (Perencanaan): Batasan numerik (meter atau lantai) yang terintegrasi dengan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dan pertimbangan keselamatan struktural (PP No. 16/2021).

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah secara komprehensif bagaimana dualisme ini diimplementasikan dalam ketentuan ketinggian maksimum dan minimum bangunan, serta implikasinya terhadap pembangunan berkelanjutan di Bali.


Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif (Normative Legal Research) dengan pendekatan interdisipliner:

  1. Pendekatan Konseptual (Kearifan Lokal): Menganalisis sumber-sumber literatur arsitektur tradisional Bali (Asta Kosala Kosali) dan filosofi penataan ruang (Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, 2008; I Wayan Suky Luxiana, 2022) untuk menginterpretasikan rasionalitas kultural di balik batas ketinggian.
  2. Pendekatan Perundang-undangan (Regulasi): Mengkaji Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub) terkait tata ruang di Bali yang mengkodifikasi batas ketinggian, serta standar teknis nasional (Permen ATRBPN No. 11/2021; PP No. 16/2021) untuk meninjau aspek keselamatan dan kepadatan.
  3. Analisis Teknis (Kuantitatif Kualitatif): Menganalisis implikasi teknis dari batas ketinggian 15 meter terhadap faktor-faktor seperti KLB, struktur bangunan di zona gempa, dan skyline kota.

Hasil Penelitian

A. Ketentuan Ketinggian Maksimum: Batas Filosofis (Pohon Kelapa)

Ketentuan kunci dan paling fundamental dalam tata bangunan di Bali adalah:

Ketinggian Maksimum Bangunan (KMB) $\approx 15 \text{ meter}$ (Setara 4-5 Lantai)

  • Rasionalitas Filosofis: KMB ini didasarkan pada prinsip Parahyangan (menghormati Pura dan tempat suci) dan Palemahan (menghormati alam). Ketinggian yang rendah memastikan tidak ada massa bangunan yang menyaingi kesakralan Pura atau menghalangi pandangan ke Gunung Agung (sebagai manifestasi Dewa) dan lanskap alami.
  • Kodifikasi Teknis: Secara teknis, ketinggian pohon kelapa telah dikodifikasi dalam Peraturan Zonasi (PZ) menjadi batas numerik (misalnya, tidak melebihi 15 meter atau 4-5 lantai), dengan beberapa pengecualian spesifik dan sangat terbatas (misalnya, menara air, menara telekomunikasi, atau bangunan di area bandara yang diatur oleh keselamatan penerbangan).

B. Ketentuan Ketinggian Minimum (Implisit)

Bali tidak secara eksplisit mengatur ketinggian minimum per bangunan, namun ketentuan ini hadir secara implisit melalui standar teknis konstruksi:

  1. Ketinggian Lantai (Floor Height): Standar teknis bangunan gedung (PP No. 16/2021) mewajibkan ketinggian ruang minimal (misalnya, 2.8 meter untuk hunian), yang secara tidak langsung menetapkan batas vertikal minimum bangunan yang layak huni, mencegah pembangunan yang menyerupai slum vertikal.
  2. Kesesuaian Fasad: Dalam kawasan cagar budaya atau kawasan heritage, seringkali diatur ketinggian seragam untuk menjaga kontinuitas visual (visual continuity). Hal ini menetapkan batas minimum yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya.

Pembahasan

A. Ketinggian Maksimum sebagai Pilar Pengendalian Tata Ruang

Pembatasan 15 meter (tinggi pohon kelapa) adalah penentu karakter Bali yang paling sukses.

1. Keselarasan Budaya (Tri Hita Karana)

Ketinggian 15 meter adalah perwujudan prinsip Tri Hita Karana dalam bentuk fisik:

  • Parahyangan: Tidak ada bangunan yang lebih tinggi dari tempat suci, menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan.
  • Pawongan: Bangunan berskala manusia memfasilitasi interaksi horizontal, bukan vertikal (Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, 2008).
  • Palemahan: Mencegah visual pollution, menjaga lanskap sawah, dan pantai tetap terbuka, mempertahankan citra “Pulau Dewata” (I Wayan Suky Luxiana, 2022).

2. Implikasi Teknis dan Perencanaan

Secara teknis, batas 15 meter memberikan manfaat signifikan:

  • Pengendalian KLB dan Kepadatan: Batas ketinggian secara efektif membatasi KLB, mendistribusikan kepadatan secara horizontal. Hal ini mencegah sentralisasi aktivitas yang berlebihan dan memitigasi risiko kemacetan di area tertentu.
  • Stabilitas Struktural (Zona Seismik): Bali terletak di wilayah rawan gempa. Bangunan rendah (4-5 lantai) secara inheren lebih stabil dan memerlukan desain rekayasa yang kurang kompleks untuk mitigasi gempa dibandingkan high-rise building, sehingga meningkatkan aspek keselamatan (safety factor).
  • Aviation Safety: Batas 15 meter di banyak area juga secara tidak langsung mendukung keselamatan penerbangan (terutama di dekat Bandara Ngurah Rai), meskipun regulasi penerbangan memiliki batas yang jauh lebih tinggi dan spesifik (Pemerintah Provinsi Bali, 2023).

B. Peran Implisit Ketinggian Minimum

Meskipun ketinggian minimum tidak diatur secara eksplisit dalam meter, standar minimum yang ada (seperti ketinggian lantai 2.8m) memastikan bahwa bangunan yang didirikan memenuhi hak dasar manusia atas hunian yang sehat dan layak. Pada kawasan tertentu (misalnya area perbelanjaan atau kantor), regulator mungkin menetapkan ketinggian lantai minimum yang lebih tinggi (misalnya 4m untuk lantai dasar komersial) untuk menjaga fungsi ruang dan fleksibilitas di masa depan. Ketinggian minimum ini berfungsi sebagai penjaga kualitas lingkungan vertikal.

C. Tantangan dan Ancaman terhadap Integritas KMB

Tantangan terbesar yang dihadapi Bali adalah tekanan investasi yang menginginkan liberalisasi batas ketinggian. Praktik loophole sering terjadi:

  1. Pengecualian (Exemption): Upaya untuk mendapatkan pengecualian untuk landmark atau bangunan khusus.
  2. Tinggi Semu: Menghitung GSB dari permukaan jalan terendah (bukan rata-rata) atau mengecualikan elemen atap/teknis untuk mendapatkan ketinggian bangunan yang lebih tinggi.
  3. Ketinggian Basement: Meskipun basement diizinkan, desain yang mengarahkan basement keluar dari permukaan tanah dapat menjadi cara lain untuk menambah tinggi bangunan yang diizinkan (Permen ATRBPN, 2021).

Integritas 15 meter harus dipertahankan secara tegas dalam Peraturan Zonasi sebagai harga mati untuk menjaga identitas Bali.


Kesimpulan

Ketentuan Ketinggian Maksimum Bangunan (KMB) di Provinsi Bali, yang didasarkan pada filosofi ketinggian pohon kelapa (kodifikasi teknis $\approx 15 \text{ meter}$), adalah kebijakan tata ruang yang sangat efektif dan berlandaskan kearifan lokal. Kebijakan ini berhasil menyatukan tujuan budaya (Parahyangan dan Palemahan) dengan tujuan teknis (pengendalian kepadatan, mitigasi risiko gempa, dan manajemen visual). Sementara ketentuan ketinggian minimum bersifat implisit, namun esensial untuk menjamin kualitas ruang. KMB 15 meter adalah fondasi yang membedakan Bali dari destinasi pariwisata lain, dan mempertahankan kebijakan ini adalah kunci untuk pembangunan berkelanjutan yang selaras dengan Tri Hita Karana.


Refleksi untuk Semua Pemangku Kepentingan

Filosofi ketinggian bangunan di Bali adalah cerminan dari pilihan etis sebuah komunitas dalam menghadapi modernitas. Kita semua memiliki peran untuk mempertahankan pilihan ini:

  1. Untuk Pemerintah (Eksekutif dan Legislatif): KMB 15 meter adalah mandat budaya dan teknis, bukan tawaran negosiasi. Tugas utama kalian adalah menjaga zero tolerance terhadap pelanggaran KMB. Perketat definisi “ketinggian bangunan” dalam regulasi teknis (PBG), termasuk penghitungan elevasi basement dan elemen atap. Lakukan sosialisasi bahwa KMB adalah alat pertahanan utama Bali melawan mass tourism yang merusak dan visual pollution.
  2. Untuk Pengembang dan Arsitek: Lihatlah batas 15 meter sebagai tantangan kreativitas, bukan hambatan. Desain horizontal, arsitektur low-rise high-density, dan integrasi lansekap vertikal adalah solusi yang dihormati di Bali. Dengan mematuhi KMB, kalian berkontribusi pada merek dagang (brand) Bali yang unik, yang pada akhirnya meningkatkan nilai investasi jangka panjang. Fokus pada kualitas horizontal, bukan kuantitas vertikal.
  3. Untuk Masyarakat dan Tokoh Adat: Kalian adalah pemilik warisan dan pengawas utama. Pahami bahwa setiap pelanggaran KMB adalah penghinaan terhadap Parahyangan dan Palemahan. Aktiflah dalam pengawasan dan pelaporan. KMB 15 meter menjamin rumah-rumah dan pura-pura kalian tidak didominasi oleh tembok-tembok raksasa. Pertahankan skala lingkungan Anda, demi kelangsungan Tri Hita Karana.

Daftar Pustaka

I Wayan Suky Luxiana. (2022). Arsitektur Tradisional Bali Era 4.0. Warmadewa University Press.

Ngakan Ketut Acwin Dwijendra. (2008). Arsitektur Rumah Tradisional Bali, Berdasarkan Asta Kosala Kosali. Udayana University Press.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilay1ah Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang. (2021).

Pemerintah Provinsi Bali. (2023). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2023–2043.

Pemerintah Republik Indonesia. (2021). Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Jakarta: Sekretariat Negara.

Tingkat Kerusakan Bangunan Akibat Gempa. (n.d.). Jurnal Teknik Sipil ITB, 15(2), 121-130.

About tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN

View all posts by tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN →