Dalam pandangan Hindu Dharma, alam semesta dan semua makhluk hidup di dalamnya telah ada dengan tatanan yang harmonis. Setiap makhluk memiliki tempatnya masing-masing dalam alam yang merupakan wadah, sedangkan makhluk itu sendiri merupakan isi. Hubungan antara isi dan wadah ini adalah bentuk keselarasan yang mencerminkan harmoni alamiah. Contohnya adalah hubungan ikan dengan air. Hubungan burung dengan udara, atau belut dengan lumpur, juga mencerminkan ini. Masing-masing makhluk hidup sesuai dengan alam yang menjadi tempatnya berada. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana dengan manusia?
Manusia, sebagai makhluk berakal dan bagian dari alam ini, menerima anugerah dari penciptanya. Namun, manusia tidak hanya menerima alam begitu saja, melainkan juga mengelolanya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan Triguna (Satwam, Rajah, Tamah). Berdasarkan tuntutan ini, manusia menciptakan wadah khusus, seperti rumah, banjar, dan desa yang berdasarkan pada kebutuhan sosial dan kebudayaan tinggi. Manusia tidak hanya puas dengan wadah alami. Mereka menciptakan wadah yang lebih sesuai dengan keperluan. Mereka melakukan ini melalui berbagai konsep filosofis yang mereka yakini.
Bagi masyarakat Bali yang taat pada agama dan adat, setiap tindakan dalam menciptakan wadah seperti rumah selalu berlandaskan pada ajaran agama Hindu. Misalnya, dalam membangun rumah, mereka mengikuti petunjuk yang terdapat dalam lontar seperti Hasta Kosali, Hasta Bumi, dan Widhi Tatwa. Bangunan yang memiliki fungsi yang jelas sesuai dengan ajaran ini. Wadah yang diciptakan selalu selaras dengan isi. Penghuninya adalah manusia yang tinggal di bangunan tersebut.
Hubungan Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung
Dalam ajaran Hindu, tujuan akhir manusia adalah mencapai moksha—penyatuan kembali dengan alam semesta. Elemen-elemen tubuh manusia (Panca Maha Bhuta) diharapkan kembali bersatu dengan semesta. Atma manusia menyatu dengan Paramatma—Tuhan Yang Maha Esa. Ini mencerminkan adanya persamaan nilai dan unsur antara Bhuwana Alit (dunia kecil, yaitu manusia) dan Bhuwana Agung (alam semesta). Meskipun ukuran dan kedudukannya berbeda, manusia sebagai isi dan alam semesta sebagai wadah membentuk kesatuan yang harmonis.
Konsep ini terwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam pembangunan wadah seperti rumah dan bangunan keagamaan. Pembagian kepala, badan, dan kaki dalam bangunan mencerminkan ajaran Tri Hita Karana. Ajaran ini terimplementasikan dalam setiap langkah pembangunan. Langkah tersebut mulai dari penentuan tata letak hingga pemilihan bahan bangunan yang digunakan.
Tri Hita Karana dalam Pembangunan Wadah
Tri Hita Karana adalah konsep harmoni yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan alam (Palemahan), dan manusia dengan sesama (Pawongan). Ajaran ini sangat meresap dalam tradisi pembangunan rumah dan desa pekraman. Dalam membangun rumah, halaman, dan bangunan keagamaan, manusia berusaha menciptakan harmoni dengan alam dan sesama, sehingga rumah atau desa tidak hanya dipandang sebagai tempat tinggal fisik, tetapi juga sebagai manifestasi dari keselarasan dengan alam semesta.
Bahkan, bagian rumah seperti kamar tidur, letak tempat suci (pelangkiran), dan pengaturan posisi tempat tidur diatur dengan memperhatikan ajaran Tri Hita Karana. Pembagian ruang dalam rumah, seperti pembagian kepala, badan, dan kaki, juga menjadi simbol penting dari hubungan manusia dengan alam semesta.
Kehidupan Wadah Sebagai Makhluk Hidup
Dalam pandangan tradisional, bangunan dianggap sebagai makhluk hidup yang memiliki jiwa (atma). Oleh karena itu, proses pembangunan rumah tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga spiritual. Proses ini melalui berbagai upacara keagamaan, seperti ngeruwak, memakuh, dan melaspas, yang berfungsi untuk “menghidupkan” bangunan. Setelah bangunan diresmikan melalui upacara-upacara tersebut, ia dianggap telah memiliki jiwa dan siap menjadi wadah bagi penghuninya.
Seiring berjalannya waktu, bangunan ini pun memerlukan pemeliharaan agar tetap suci dan berfungsi sesuai harapan. Upacara-upacara keagamaan seperti caru dan piodalan berfungsi untuk membersihkan dan menjaga kesucian bangunan dari noda atau gangguan alam.
Penutup
Konsep isi dan wadah dalam ajaran Hindu Dharma mencerminkan hubungan yang mendalam antara manusia dan alam. Manusia sebagai Bhuwana Alit menciptakan wadah yang sesuai dengan kebutuhan sosial dan spiritualnya, sementara alam semesta sebagai Bhuwana Agung tetap menjadi tempat yang mendukung kehidupan manusia. Harmoni antara isi dan wadah ini, dalam ajaran Tri Hita Karana, menjadi landasan penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Ini berlaku baik dalam membangun rumah maupun desa. Ini juga berlaku dalam menjaga hubungan dengan alam dan Tuhan.