ANALISIS DISFUNGSI DRAINASE PERKOTAAN SARBAGITA: EVALUASI PENYEBAB TRANSFORMASI JALAN RAYA MENJADI JALUR ALIRAN AIR (RUN-OFF) PADA TAHUN 2025

Abstrak
Wilayah Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) menghadapi krisis banjir pada tahun 2025 yang ditandai dengan fenomena “jalan menjadi sungai”. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kegagalan sistem drainase dalam menangani curah hujan ekstrem. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi sedimentasi, okupansi lahan resapan, dan intensitas hujan di atas rata-rata menjadi pemicu utama. Diperlukan reformasi kebijakan tata ruang dan digitalisasi sistem drainase untuk mitigasi jangka panjang.

1. Introduction (Pendahuluan)
Pertumbuhan urbanisasi di Bali Selatan telah mengubah bentang alam secara drastis. Kawasan Sarbagita sebagai pusat ekonomi Bali kini menghadapi tantangan lingkungan berupa banjir berulang. Memasuki tahun 2025, intensitas banjir tidak hanya meningkat pada volume air, tetapi juga pada kecepatan aliran di permukaan jalan. Permasalahan utama terletak pada ketidakmampuan infrastruktur drainase eksisting untuk mengakomodasi limpasan permukaan (surface run-off) yang tinggi akibat hilangnya lahan resapan.
2. Methods (Metode)
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di titik-titik banjir utama (seperti Jalan Teuku Umar dan ruas jalan protokol di Badung) serta wawancara dengan otoritas terkait (BPBD dan Dinas PUPR). Data sekunder diperoleh dari laporan curah hujan harian tahun 2025 dan peta perubahan tata lahan. Analisis dilakukan dengan membandingkan kapasitas debit saluran terhadap volume curah hujan ekstrem yang terjadi pada September 2025.
3. Results (Hasil)
Data menunjukkan bahwa pada puncak musim penghujan 2025, wilayah Sarbagita mencatat:
  • Titik Genangan: Terjadi peningkatan titik banjir dari 150 titik pada tahun sebelumnya menjadi 205 titik di seluruh Bali, dengan densitas tertinggi di Denpasar (BPBD Bali, 2025).
  • Kapasitas Saluran: Rata-rata saluran drainase hanya mampu menampung 40-50% dari total debit air hujan.
  • Okupansi Drainase: Ditemukan 30% saluran air mengalami penyempitan akibat bangunan permanen dan 20% tersumbat oleh sampah plastik serta sedimen tanah yang tidak dikeruk secara berkala.
4. Discussion (Pembahasan)
Fenomena jalan raya yang menyerupai sungai terjadi karena jalan berfungsi sebagai “jalur aliran air alternatif” saat drainase bawah tanah mencapai titik jenuh. Secara teknis, jalan raya memiliki elevasi yang lebih rendah dari trotoar dan bangunan di sekitarnya, sehingga saat drainase mampet, hukum gravitasi mengarahkan air ke badan jalan.
Kurangnya integrasi antara pembangunan jalan dengan penyediaan ruang terbuka hijau memperparah kondisi ini. Selain itu, perilaku masyarakat dalam membuang sampah ke selokan tetap menjadi faktor penghambat mekanis utama yang membuat anggaran pembersihan sebesar Rp72 miliar di Denpasar pada 2025 terasa kurang efektif (Pemerintah Kota Denpasar, 2025).

Daftar Pustaka (APA Style)
BPBD Bali. (2025). Laporan Pemetaan Titik Rawan Banjir Kawasan Sarbagita Kuartal III. Denpasar: Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bali.
Pemerintah Kota Denpasar. (2025). Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD): Fokus Peningkatan Drainase dan Infrastruktur Jalan. Denpasar: Sekretariat Daerah Kota Denpasar.
Pradnya, I. G. A. (2025). Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase di Kawasan Urban Bali Selatan. Jurnal Infrastruktur dan Lingkungan Bali, 12(2), 45-58.
World Meteorological Organization. (2025). Global Climate Report: Extreme Rainfall Patterns in Southeast Asia. Geneva: WMO Press.

Refleksi Untuk Kita Semua
Banjir yang mengubah jalanan kita menjadi sungai di tahun 2025 ini bukanlah sekadar “bencana alam”, melainkan sebuah “pesan alam”.
  1. Kegagalan Ego Sektoral: Kita sering membangun gedung tanpa memikirkan ke mana airnya akan pergi. Kita menuntut jalanan kering, namun kita sendiri menutup lubang resapan di depan rumah dengan beton demi kenyamanan parkir kendaraan.
  2. Paradoks Modernitas: Di tengah kemajuan teknologi 2025, kita masih dikalahkan oleh seonggok sampah plastik yang menyumbat selokan. Ini menunjukkan bahwa kemajuan infrastruktur tidak ada artinya tanpa perubahan perilaku kolektif.
  3. Tanggung Jawab Bersama: Pemerintah memiliki kewajiban memperbaiki sistem drainase, namun masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menjaga fungsinya. Trotoar bukan tempat dagang, dan drainase bukan tempat sampah.
Jika kita terus memperlakukan lahan hanya sebagai komoditas tanpa menghormati jalur air, maka di masa depan, kita tidak lagi mengendarai mobil di jalan raya, melainkan “mengarungi” kota di atas arus banjir yang kita ciptakan sendiri.

About tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN

View all posts by tarubali PUPRKIM Prov. Bali MaSIKIAN →