Pendahuluan
Ruang hidup adalah wadah seluruh aktivitas manusia dan ekosistem yang harus dikelola secara berkelanjutan, adil, dan berkeadilan sosial. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa tanpa penataan ruang yang jelas dan konsisten, pembangunan dapat menimbulkan konflik kepentingan, degradasi lingkungan, dan ketimpangan wilayah.
Untuk itulah diterbitkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menjadi tonggak hukum utama dalam mengatur arah pembangunan berbasis ruang. Undang-undang ini kemudian diperkuat dan dioperasionalisasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK).
Kedua regulasi ini bersama-sama membentuk kerangka hukum nasional yang memadukan aspek tata ruang, lingkungan hidup, sosial-ekonomi, dan investasi dalam satu sistem pengelolaan ruang yang terintegrasi dari pusat hingga daerah.
1. Pokok-Pokok Materi Muatan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
a. Asas dan Tujuan Penataan Ruang
Menurut Pasal 2 UU 26/2007, penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan berdasarkan sembilan asas utama:
- Keterpaduan;
- Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
- Keberlanjutan;
- Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
- Keterbukaan;
- Kebersamaan dan kemitraan;
- Perlindungan kepentingan hukum;
- Kepastian hukum dan keadilan; serta
- Akuntabilitas.
Sembilan asas ini menegaskan bahwa penataan ruang bukan hanya urusan teknis, melainkan juga moral dan keadilan sosial.
Tujuan penyelenggaraan penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
Tujuan tersebut diwujudkan melalui:
- Harmonisasi antara lingkungan alam dan lingkungan buatan,
- Keterpaduan dalam pemanfaatan sumber daya, serta
- Perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan.
b. Klasifikasi Penataan Ruang
UU 26/2007 membagi penataan ruang berdasarkan sistem, fungsi, wilayah, kegiatan, dan nilai strategis kawasan, sebagai berikut:
-
Berdasarkan sistem:
-
Sistem wilayah, dan
-
Sistem internal perkotaan.
-
-
Berdasarkan fungsi utama kawasan:
-
Kawasan lindung, dan
-
Kawasan budidaya.
-
-
Berdasarkan wilayah administratif:
-
Wilayah nasional,
-
Wilayah provinsi, dan
-
Wilayah kabupaten/kota — yang disusun berjenjang dan komplementer.
-
-
Berdasarkan kegiatan kawasan:
-
Kawasan perkotaan, dan
-
Kawasan perdesaan.
-
-
Berdasarkan nilai strategis kawasan:
-
Kawasan strategis nasional,
-
Kawasan strategis provinsi, dan
-
Kawasan strategis kabupaten/kota.
-
Klasifikasi ini memungkinkan setiap rencana tata ruang (RTRW atau RDTR) disusun secara sistematis dengan memperhatikan skala prioritas dan karakteristik wilayah.
c. Hak, Kewajiban, dan Peran Masyarakat
Penataan ruang menempatkan masyarakat bukan sebagai objek, tetapi subjek aktif dalam penyelenggaraan ruang.
Setiap orang memiliki hak untuk:
- Mengetahui rencana tata ruang;
- Menikmati peningkatan nilai ruang akibat penataan;
- Memperoleh kompensasi atas kerugian akibat pelaksanaan pembangunan sesuai RTRW;
- Mengajukan tuntutan terhadap pembangunan yang tidak sesuai rencana tata ruang;
- Meminta pembatalan atau penghentian kegiatan yang menyalahi rencana tata ruang; serta
- Mengajukan gugatan ganti rugi kepada pemerintah atau pelaksana kegiatan.
Namun, masyarakat juga berkewajiban untuk:
- Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
- Memanfaatkan ruang sesuai peruntukan;
- Mematuhi persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR); dan
- Memberikan akses terhadap kawasan yang ditetapkan sebagai milik umum.
Partisipasi masyarakat dalam penataan ruang meliputi:
- Penyusunan rencana tata ruang,
- Pemanfaatan ruang, dan
- Pengendalian pemanfaatan ruang.
Partisipasi ini menegaskan bahwa keberhasilan penataan ruang tidak hanya bergantung pada pemerintah, tetapi pada sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.
d. Ketentuan Peralihan dan Penutup
UU 26/2007 mengatur masa transisi agar tidak menimbulkan ketidakharmonisan hukum. Beberapa pokoknya:
- Peraturan pelaksanaan yang sudah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU 26/2007.
- Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW harus disesuaikan dalam waktu tertentu.
- Pemanfaatan ruang yang sah berdasarkan izin lama diberi masa transisi 3 tahun untuk penyesuaian.
- Pemegang izin lama yang sah dan sesuai prosedur berhak atas penggantian yang layak.
Selain itu, peraturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri diamanatkan untuk diselesaikan dalam jangka waktu 2–5 tahun sejak UU diberlakukan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021: Operasionalisasi Amanat UU 26/2007
PP Nomor 21 Tahun 2021 hadir untuk memperkuat dan menyederhanakan sistem penataan ruang dalam konteks Omnibus Law (UU Cipta Kerja).
Inti dari PP ini adalah menjamin keterpaduan antar sektor, antar wilayah, dan antar tingkat pemerintahan dengan prinsip kemudahan berusaha dan kepastian hukum ruang.
Beberapa poin penting dari PP ini meliputi:
- Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang
- Pengaturan,
- Pembinaan,
- Pelaksanaan (meliputi perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian), serta
- Pengawasan penataan ruang.
- Perencanaan Tata Ruang
- Mengatur tata cara penyusunan RTRW Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, dan RDTR.
- Menjamin integrasi antara kebijakan spasial dengan kebijakan sektoral.
- Pemanfaatan Ruang
- Semua kegiatan berizin usaha harus sesuai RTRW atau RDTR yang telah ditetapkan.
- Penerapan sistem Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) berbasis digital dan terintegrasi melalui sistem OSS-RBA (Online Single Submission Risk-Based Approach).
- Pengendalian Pemanfaatan Ruang
- Pengawasan dilakukan melalui penilaian kesesuaian, insentif-disinsentif, dan sanksi administratif.
- Penegakan hukum ruang diposisikan untuk mendukung iklim investasi berkelanjutan tanpa mengabaikan aspek lingkungan dan sosial.
- Keterlibatan Masyarakat dan Transparansi
- Masyarakat berhak mengakses informasi rencana tata ruang secara terbuka, termasuk melalui sistem informasi geospasial nasional.
- Pemerintah daerah wajib menyediakan portal data spasial dan memfasilitasi partisipasi publik dalam pengawasan.
3. Sinergi antara UU 26/2007 dan PP 21/2021 dalam Konteks Bali
Bagi Provinsi Bali, kedua regulasi tersebut menjadi dasar hukum untuk mewujudkan penataan ruang yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pemuliaan alam dan budaya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali.
RTRW Provinsi Bali (Perda No. 2 Tahun 2023) dan Rencana Detail Tata Ruang di kabupaten/kota diarahkan untuk:
- Menjaga kawasan lindung dan sempadan suci (Sad Kahyangan, Subak, Pura, dan Tukad),
- Mengendalikan urbanisasi dan alih fungsi lahan di kawasan Sarbagita,
- Meningkatkan keterpaduan antar wilayah melalui sistem jaringan transportasi dan air,
- Menyelaraskan investasi dengan nilai-nilai Tri Hita Karana dan Sad Kerthi.
4. Refleksi: Hukum Sebagai Penjaga Ruang Hidup
Implementasi UU 26/2007 dan PP 21/2021 menegaskan bahwa hukum bukan sekadar alat administratif, tetapi penjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Namun, dalam praktiknya, masih banyak tantangan seperti:
- Tumpang tindih izin dan zonasi,
- Pelanggaran sempadan sungai, sempadan jurang, sempadan danau dan pantai,
- Ketimpangan antara kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan,
- Lemahnya koordinasi lintas sektor, serta
- Minimnya kesadaran publik terhadap fungsi RTRW atau RDTR.
Maka, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, masyarakat, desa adat, dunia usaha, dan lembaga penegak hukum untuk memastikan ruang Bali dan Indonesia tetap lestari, aman, dan berkeadilan.
Penutup
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan PP Nomor 21 Tahun 2021 merupakan tonggak penting yang mengarahkan bangsa ini menuju tata ruang yang tertib, berkelanjutan, dan berkeadilan.
Pelaksanaannya harus selalu berlandaskan pada prinsip transparansi, partisipasi, dan integritas.
“Ruang bukan hanya tempat tinggal manusia, tetapi juga napas kehidupan bagi generasi yang akan datang.”
